"Syukurlah, Hinata sudah menunggumu." Ujar Hiashi sambil tersenyum simpul, ia menatap ke depan sambil mengembuskan napas berat. "Dia sangat cemas akan melahirkan tanpa kau disini."
"Apa dia baik-baik saja?" Tanya Naruto dengan khawatir.
Hiashi mengangguk "ya, Hinata baik-baik saja, temuilah dia dulu."
Naruto mengangguk, ia menatap Ayah mertuanya itu "Ayah, terima kasih sudah menjaga anak dan istriku selama aku pergi." Setelah satu tahun berlalu, ia akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan Ayah mertuanya itu.
Senyum simpul terpatri di bibir Hiashi "tentu saja, jangan khawatir."
...
Naruto membuka pintu geser kamarnya dan melangkah masuk. "Tadaima."
Hinata yang tengah duduk bersandar sambil membaca buku sedikit terkejut. "Okaeri, kau sudah kembali?"
Naruto menghampiri istrinya itu dan duduk di tepi ranjang, ia menatap istrinya dari ujung kaki hingga kepala. Wanita hamil itu nampak cantik namun wajahnya sedikit pucat. "Kau terlihat pucat, sudah minum vitamin?" Ia mengecup kening Hinata sekilas dan menyentuh lengannya.
"Belum, aku mual sekali hari ini." Hinata bergumam pelan seraya mengusap perutnya yang sudah membesar.
"Kita ke Dokter saja hari ini, bagaimana?" Ia mengusap pelan pipi pualam istrinya. Entahlah, melihat Hinata dalam kondisi hamil besar begini membuatnya tidak tega. Kakinya mulai membengkak, mualnya pun beberapa kali kambuh.
"Besok saja, kau harus beristirahat." Ujar Hinata, ia tahu suaminya itu pasti lelah. Lihatlah kantung matanya itu, dia pasti kurang tidur selama berlayar.
"Baiklah, besok." Ia tidak ingin banyak membantah ucapan Hinata. Ia membungkukan tubuhnya sambil mengecup perut berisi bayinya itu. "Ayah sudah pulang, apa kau baik-baik saja di dalam sana?" Ia berbisik pelan seraya mengusap perut besar Hinata.
Hinata mengusap helaian pirang suaminya yang masih mengecupi perutnya. Ia selalu terenyuh dengan sikap pria itu. Sejak pindah kemari banyak hal berubah, namun tentu saja ke arah yang lebih baik.
"Saat berlayar, Ayah menemukan nama yang bagus untukmu." Ujar Naruto dengan masih berbisik. "Uzumaki Himawari."
Hinata menyunggingkan senyum tipis di bibirnya "Himawari?"
"Bagaimana menurutmu?" Naruto bangkit duduk dan meraih tangan Hinata.
"Itu bagus, dia lahir di musim panas jadi nama itu sangat cocok."
"Sudah kuduga kau akan setuju." Naruto tersenyum lembut ke arah istrinya. Saat tahu anak kedua mereka adalah perempuan, Hinata nampak sangat senang begitu pula dengan dirinya. Seperti sebuah pelangi setelah hujan, bayi itu hadir hanya beberapa bulan sejak mereka mulai tinggal disini, kehadirannya membuat semua ini menjadi sempurna.
"Terima kasih Naruto-kun." Ujar Hinata dengan tulus sambil menatap suaminya.
"Terima kasih? Bukankah harusnya aku yang mengatakan itu?" Naruto merasa, dirinyalah yang harus mengatakan terima kasih berkali-kali pada Hinata.
"Kau memperbaiki segalanya." Hinata hanya tersenyum sendu.
"Kekacauan yang pernah terjadi dulu, semua itu karena diriku jadi sudah seharusnya aku bertanggung jawab." Saat ini yang ada di kepalanya hanyalah kebahagiaan keluarganya, ia akan berusaha menjaga itu sampai kapanpun.
Tanpa terasa setetes air mata Hinata jatuh menuruni pipi. Ia teringat sudah sejauh apa mereka melangkah sekarang.
"Hey, kenapa menangis?" Naruto menghapus air mata di pipi istrinya.
"Apa kau ingat, suasana musim panas di Hokkaido dulu? Aku merindukannya." Gumam Hinata sambil terkekeh pelan dan mengusap sudut matanya yang berair.
"Kita biasa pergi berkencan ke Ladang Tomita untuk melihat lavender mekar."
"Naik balon udara, mengendarai sepeda, dan makan es krim. Aku masih ingat semuanya." Tambah Naruto, ah begitu banyak kenangan. Hokkaidao akan jadi kota yang amat bersejarah untuknya dengan Hinata, begitu pula dengan Sapporo, dan sekarang Toyama. Ia tak sabar untuk mengukir lebih banyak kenangan bersama wanita itu, wanita yang telah memutar dunianya yang begitu hampa menjadi lebih berarti, dia Hinatanya.
...
Flash Back
"Naruto-kun, aku takut ketinggian!" Hinata memegang lengan Naruto dengan erat matanya terpejam dan kakinya gemetar. Mereka berada pada ketinggian 30 meter di atas tanah, tepat di atas balon udara.
Naruto hanya terkekeh pelan sambil merangkul pinggul Hinata dengan erat. "Pejamkan saja matamu."
Hinata mengangguk dan tak membuka matanya sama sekali. Ia hanya merasakan angin kencang menerpa tubuhnya.
Naruto menatap ke bawah. Hamparan ladang lavender nampak begitu indah dari atas sini. "Di bawah sana ada ladang lavender yang begitu indah."
Hinata masih memejamkan mata dengan ketakutan.
"Tak perlu membuka mata jika kau ketakutan, aku akan memberitahumu apa yang ada di bawah sana." Naruto masih menggenggam tangan Hinata dengan erat.
"Em, katakan saja Naruto-kun." Hinata mengatur detak jantungnya yang menggila.
"Langit sore berwarna orens, sangat kontras dengan ladang lavender di bawah sana yang berwarna ungu. Aku tidak tahu kenapa, tapi itu terlihat indah." Naruto membelai pipi Hinata dengan lembut.
Hinata tersenyum tipis, meski tak melihatnya ia bisa membayangkan apa yang Naruto katakan tadi.
"Apa kau yakin tak ingin melihatnya? Kita mungkin bisa kemari musim panas tahun depan, tapi aku tidak bisa berjanji. Apa kau ingin melewatinya begitu saja?" Bisik Naruto di telinga kekasihnya.
Ucapan Naruto membuat Hinata merasa resah, bagaimana jika tahun depan tak bisa kemari lagi? Ia terlalu takut melewatkan keindahan itu dan juga momen ini.
"Buka matamu, perlahan-lahan aku memegangmu kita akan baik-baik saja." Naruto mengusap punggung tangan Hinata dengan lembut.
"Baiklah." Hinata memegang lengan Naruto dengan erat dan perlahan membuka matanya. Kakinya masih gemetar karena ketakutan namun apa yang ia kihat setelah membuka kelopak mata begitu indah.
Naruto memutar pelan tubuh gadis itu menghadap ke arah sunset lalu memeluknya erat dari belakang. "Bagaimana, tidak seburuk itu kan?"
Hinata menggigit bibirnya dan mengangguk, ia jadi merasa malu karena begitu ketakutan. Ia bisa melihat hamparan lavender nampak begitu indah dari atas sini.
Untuk beberapa saat hanya ada keheningan di antara mereka, hanya tengah berusaha mengukir dan membagi momen indah bersama-sama.
"Naruto-kun, berjanjilah kita akan melalui musim panas bersama tahun depan." Gumam Hinata.
"Aku janji." Naruto meletakan dagunya di pundak Hinata seraya memeluknya dari belakang. "Kita akan menghabiskan waktu bersama lagi di hari jadi kita tahun depan."
Hinata tersenyum simpul, musim panas memang amat berkesan untuk mereka berdua. Ia harap akan ada musim panas seperti ini di tiap tahunnya.
Naruto membalikan tubuh Hinata menghadap ke arahnya. "Terima kasih, untuk tahun pertama yang begitu indah ini. Ku harap bisa melalui lebih banyak lagi musim panas bersamamu."
"Aku harap juga begitu." Jawab Hinata dengan tulus.
Naruto mengikis jarak di antara mereka, kemudian mendaratkan bibirnya di atas bibir Hinata. Hanya kecupan ringan dan lumatan lembut yang dilatari matahari tenggelam.
Keduanya memejamkan mata sambil tersenyum di tengah tautan bibir itu. Siapa sangka harapan sederhana mereka sore itu benar menjadi kenyataan. Tepat di musim panas mereka yang ke sepuluh semuanya terasa begitu sempurna.
...
Officially End
YOU ARE READING
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...
Omake
Start from the beginning
