Berbanding terbalik dengan Ko Owen yang begitu fashionable, cetar, membahana. Saking glowing-nya, aku bisa berkaca pada keningnya yang mengkilat. Glowing, apa berminyak, tuh? Sialan, aku malah sempat-sempatnya ngelawak.

"Hai, Git. Lama nggak jumpa, ya?" Sapanya ramah dengan senyum lebar yang membuat matanya semakin hilang. Gila, udah setahun nggak ketemu, wajah Ko Owen gitu-gitu aja. Nggak keriput atau keliatan tua. Padahal, umurnya udah mendekati tiga lima.

"Iya, Ko. Apa kabar, Ko? Lama nggak ketemu." Tepatnya, aku yang terus menghindar setiap kali dia mengajakku bertemu karena diberitahu Mama. Entah kenapa, aku masih saja merasa bersalah padanya meski setahun udah terlewati. Kenapa sih, dia harus baik? Kenapa dia nggak jadi bad boy aja biar aku nggak merasa bersalah sedalam ini.

"Kabar baik. Pulang ke Surabaya nggak ada info. Sombong nih, anak Tante." Ko Owen melirik Mama dan aku bergantian dengan jumawa.

"Tante aja baru dikasih tahu semalam kalo dia mau pulang. Sok-sok ngasih surprise." Ini Mama juga ngapain ngedukung Ko Owen. Nggak tahu apa, anaknya lagi ketar-ketir ketemu mantan. Iya, mantan. Kami sempat pacaran tiga bulan, sebelum aku bersama Adit. Entah, aku yang gila atau Ko Owen yang lagi mabuk, tiba-tiba saja kami berpacaran setelah dikenalkan Mama. Ko Owen ini anak dari teman SD Mama yang pindah ke Surabaya mengikuti suaminya. Dan, dihari ke lima kami berkenalan, kami malah pacaran. Kala itu aku terlalu emosional karena diselingkuhi pacarku kala itu sehingga mengambil keputusan bodoh.

Setelah aku kembali ke Jakarta, aku seperti tersadar dari hipnotis. Ko Owen memang baik, tipe pria ideal menurutku. Namun, perbedaan budaya, suku, latar belakang membuatku memutus hubungan kami. Yang terberat adalah kami juga beda keyakinan. Aku yakin hubungan kami tidak akan berhasil, dia yakin kami akan bertahan lama. Berat, kan? Meski kurang dari seminggu, aku cukup bahagia bersamanya.

Aku tersentak ketika suara Ko Owen kembali terdengar. Aku terlalu banyak melamun sepertinya.

"Kenapa Ko?" Aku bertanya karena tak mendengar apa yang dikatakannya tadi.

"Aku mau ngajak kamu jalan-jalan nanti sore kalo nggak sibuk. Udah lama rasanya kita nggak ngobrol." Hmmm tawaran yang berbahaya. Lebih baik aku to-

"Ajak aja. Dia juga nganggur di rumah. Rebahan aja kerjanya." Aku menyipitkan mata pada Mama, tanda tak suka.

"Bisa, Git?" Tanya Ko Owen memastikan. Shit, sulit nolak orang ganteng dan baik hati, aku mengangguk otomatis, nggak enak hati. Apalagi, sepertinya, sepertinya ya, dia berharap aku mengiyakan ajakannya. Ko Owen tersenyum, secerah matahari Surabaya pagi ini. Setelahnya, dia berpamitan karena sudah selesai belanja. Orang kaya beneran ya, modelan Ko Owen ini. Humble, down to earth. Belanja aja masih di pasar tradisional, padahal dia nggak kurang uang pun buat belanja ke Supermarket. Gimana aku nggak nolak waktu dia tembak. Tiba-tiba rasa khawatir menyerang, apa... Dia akan jadi pelarianku lagi kali ini?
***
Tiba di rumah dari pasar, aku langsung melesat ke kamar mandi. Udara Surabaya di pagi hari benar-benar bikin gerah. Aku sampai banjir keringat sepanjang perjalanan ke rumah, apalagi sempat macet. Sebelumnya, aku mengecek ponselku sebelum mandi.

Ko Owen: Lagi nggak?

Hmmm? Maksudnya apa?

Gita: Lagi apa Ko?

Ko Owen: Lagi mikirin kamu 😉

Lah, malah gombalin aku gini, ni orang.

Gita: Geje banget Koko 😌

Ko Owen: Hehehe. Ternyata aku salah selama ini. Aku pikir, hape kamu rusak makanya nggak pernah balas pesan aku

Gita: Koko kan tahu, aku menghindar. Takut khilaf lagi 😁 canda khilaff

Hello, Ex!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang