#6 : The Talk

12.2K 986 13
                                    

Secara perlahan, gadis itu mulai merasakan hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit wajahnya. Taylor membuka kelopak mata indahnya perlahan dan bangkit dari ranjang, menyadari jika hari sudah berganti dengan yang baru. Hari ini akan menjadi hari ketiga Taylor bekerja di Styles Enterprise. Dua hari belakangan, sangat melelahkan. Terlebih lagi kemarin.

Taylor sampai di apartemennya pukul 11.20. Jika dihitung-hitung, perjalanan yang ditempuh Taylor dari kantor ke apartemennya hanya sekitar 15 menit. Padahal, saat berangkat ke kantor dengan bus, Taylor bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam di perjalanan. Semalam, perjalanan terasa sangat cepat. Semua karena bos tampannya tersebut.

Harry memang benar-benar mengantarkan Taylor pulang semalam dan Taylor tak mau lagi di antar oleh bosnya tersebut. Taylor tak mengerti, bagaimana mungkin Harry diizinkan untuk mengendarai mobil jika dia saja tak bisa mengendarai mobil dengan benar dan penuh kehati-hatian. Harry gila. Dia gila dan dia nyaris membuat Taylor gila pula karena kegilaannya.

Jarak apartemen Taylor dan Styles Enterprise cukup jauh dan Harry bisa menempuhnya dalam waktu singkat. Harry seperti orang gila saat menyetir. Tatapannya fokus ke depan dan dia melewati kendaraan-kendaraan di depannya, seakan-akan dia tengah melakukan balapan menggunakan mobil Formula One. Kecepatan mobil Harry di atas kecepatan normal dan beberapa kali, Harry nyaris menyenggol kendaraan yang berada di dekatnya. Tidak lagi-lagi Taylor mau diantar oleh Harry Styles.

Taylor berjalan menuju ke bathroom untuk membersihkan tubuhnya.

*****

“Ingat, Harry. Malam ini, kita akan makan bersama keluarga Rode. Kau harus berperilaku sebaik mungkin dan datang tepat waktu.” Anne memperingatkan Harry yang tengah menyantap menu sarapannya, roti bakar selai arbei. Harry menghabiskan roti di dalam mulutnya sebelum meraih segelas air putih dan meneguknya hingga habis. Setelah itu, Harry bangkit berdiri dari kursinya.

Harry menatap sekilas ke arah Anne sambil berkata, “aku berangkat, Mom.” Sebelum berjalan meninggalkan ruang makan. Meninggalkan Anne yang kesal karena Harry mengabaikannya. Ini bukan kali pertama Harry mengabaikan Anne. Sejak Anne meminta Harry untuk menikah secepatnya, Harry semakin sulit berpikir jernih. Anne terus mendesaknya menikah. Jika tidak, dia akan menjodohkan Harry dengan anak temannya.

Kemarin, Anne memang mengatakan jika dia tak mau memaksa Harry lagi tapi, Harry sangat mengenal Ibunya dengan sangat baik. Jika Anne sudah membuat keputusan, keputusan itu adalah keputusan mutlak yang harus dilaksanakan. Jadi, Harry sudah yakin seratus persen sejak kemarin, Ibunya pasti merencanakan sesuatu.

Rencana itupun semakin jelas terlihat saat Anne meminta Harry untuk pulang lebih awal dan mengajaknya makan malam bersama temannya. Harry sudah melihat jelas, ke mana arah makan malam ini berlangsung. Pasti akan membahas tentang perjodohan itu. Harry tak mau dijodohkan. Harry belum berniat untuk menikah tapi, jikapun dia akan menikah, dia tak mau menikah dengan gadis yang bukan pilihannya.

Harry melajukan mobilnya, menjauhi area rumah megahnya. Berusaha menghindar dari tekanan yang tiap hari diberikan oleh Anne.

Harry melajukan mobil dengan cukup cepat sampai dia melihat sosok gadis yang dia kenali, tampak tengah menunggu di sebuah pemberhentian bus. Harry menepikan mobilnya, tepat di hadapan gadis berambut blonde yang sudah dua hari belakangan berada di dekatnya itu.

Harry membuka kaca mobilnya dan Taylor menatapnya dengan mata yang melebar. “Harry!” Taylor menyebut namanya dengan sangat ceria. “Selamat pagi!” Taylor kembali menambahkan. Harry mengangguk kecil dan balas berkata, “selamat pagi, Taylor.”

“Apa yang kau lakukan di sini?” Taylor berjalan mendekat ke arah Harry. Harry memutar bola matanya. “Seharusnya aku yang bertanya demikian kepadamu. Apa yang kau lakukan di sini?” Harry balik bertanya. Kali ini, Taylor yang memutar bola matanya. “Kau tak lihat di mana aku berdiri? Tempat pemberhentian bus. Kau mengerti artinya, kan? Aku di sini untuk menunggu bus yang akan membawaku ke kantor.”

Harry melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas, sebelum beralih menatap Taylor lagi. “Bukankah aku sudah memberikanmu kompensasi untuk datang lebih siang? Aku tahu, kau pasti masih lelah karena telah menemaniku semalaman.” Ujar Harry. Taylor menggelengkan kepala. “Maafkan aku tapi, aku sama sekali tak lelah. Aku selalu punya tenaga tiap pagi hari. Tenang saja, aku tak akan mengantuk.”

Harry tersenyum tipis. “Naiklah, Taylor. Kau bisa menumpang mobilku daripada harus menunggu bus untuk sampai di kantor.”

Taylor menggelengkan kepalanya tegas. “Terima kasih atas ajakanmu, Harry. Tapi, cukup semalam kau membuatku gila karena cara mengemudimu yang sangat kacau. Aku masih mau hidup dan aku belum membahagiakan keluargaku.” Harry terkekeh kecil, terdengar sangat parau.

“Aku sudah mendapatkan izin mengemudi sejak berusia 17 tahun. Tak ada yang salah dengan cara mengemudiku.” Harry membela diri. Taylor menganggukkan kepala malas-malasan. “Terima kasih sekali lagi, Sir. Tapi, lebih baik aku berangkat ke kantor dengan bus daripada harus mati terkena serangan jantung saat berangkat bersamamu. Sekali lagi, terima kasih atas ajakanmu.”

Harry mengedikkan bahu. “Baiklah. Sampai bertemu di kantor, Taylor. Banyak pekerjaan yang menantimu.” Harry menutup kembali kaca mobilnya dan melajukan mobil itu menjauhi Taylor.

*****

Taylor melangkah memasuki Styles Enterprise dengan senyuman lebar di bibirnya. Taylor menyapa satu per satu orang yang berpapasan dengan walaupun, Taylor tak begitu mengenal orang-orang tersebut dengan baik. Taylor berjalan menuju ke lift dan menekan tombol 13. Taylor menunggu di depan lift sampai menyadari kehadiran seseorang di sisi kanannya.

Taylor menoleh dan mendapati seorang pemuda yang berkenalan dengannya kemarin, tengah berdiri di sampingnya. Taylor memutar sedikit tubuhnya sambil menyapa ramah, “selamat pagi, Liam.”

Pemuda itu—Liam—tersenyum dan balas menyapa, “selamat pagi, Taylor. Kau terlihat sangat ceria hari ini.”

“Bukan ceria, hanya bersemangat. Ibuku mengajarkanku untuk selalu bersemangat. Jika aku bersemangat, orang di sekitarku pasti akan ikut bersemangat.” Liam terkekeh dan menganggukkan kepalanya. “Kau benar. Semenjak melihatmu pagi ini, semangatku tiba-tiba saja mencapai titik teratas.” Taylor ikut terkekeh.

Pintu lift akhirnya terbuka. Taylor dan Liam menaiki lift tersebut, bersamaan. Taylor dan Liam bahkan juga nyaris menekan tombol angka 13 bersamaan, membuat keduanya terdiam sebelum tertawa atas keganjilan tersebut. Taylor akhirnya, membiarkan Liam menekan tombol angka 13 dan pintu lift tertutup.

“Kau ingin ke lantai 13 juga?” tanya Taylor, setelah lift mulai bergerak.

“Ya.”

“Menemui Harry?” tanya Taylor lagi.

“Tentu saja.”

“Oh, aku mengerti.” Taylor menganggukkan kepala dan menatap lurus ke depan. Keheningan menerpa keduanya, hingga lift mencapai lantai 13 dan terbuka. Taylor mendahului Liam ke luar dari lift sebelum berjalan berdampingan menuju ke ruangan Harry.

Sesampainya di depan pintu ruangan Harry, Taylor baru saja hendak mengetuk saat pintu tiba-tiba terbuka dan Harry-lah yang muncul dari balik pintu. Harry menatap Taylor dengan ekspresi yang sulit dijelaskan sebelum tatapan pria berambut keriting itu teralihkan pada Liam yang berdiri di samping Taylor.

“Hai.” Harry menyapa, terdengar sangat terpaksa.

Harry dan Liam saling berpandangan selama beberapa saat. Taylor memperhatikan keduanya dengan bingung.

“Aku harus memberitahumu sesuatu, Harry.” ujar Liam, wajahnya terlihat sangat serius. Harry menganggukkan kepala sebelum beralih kepada Taylor. “Bisakah kau menungguku di dalam? Aku akan kembali secepatnya, setelah selesai berbicara dengannya.” perintah Harry. Taylor menganggukkan kepala dan segera memasuki ruangan Harry. Meninggalkan Harry dan Liam yang harus berbicara empat mata.

No ControlWhere stories live. Discover now