2

27 1 0
                                    

Langit berwarna oren kemerahan pun terlihat di ufuk barat, pertanda malam akan segera tiba. Nagisawa pun saat ini sudah berada di pintu apartemennya dengan nama plakat dirinya dan nomor 403 yang merupakan tempat tinggalnya. Saat pintu apartemennya dibuka, dia hanya melihat tumpukan dus dan sebuah tas sekolah yang ada di apartemennya.

"Tadaima, ah pantesan saja. Dikira tasku ketinggalan," gumamnya sambil menaruh map dan tabung yang ia bawa dari sekolahnya.

"Tapi apartemen ini bakal kosong untuk sementara waktu. Entah berapa lama. Walau senpai memilih tidur disini saat dia ga sempat ke Nagoya."

Saat dia melepas sepatunya, dia pun baru sadar kalau sendal rumahnya tidak ada. Dia pun panik mencari kesana kemari, dimanakah sosok sendarumahnya. Kemudian saat dia melihat tumpukan dus itu membuat rasa malasnya bertambah.

"Aiya. Kan ntar malam barang-barangku dikirim ke Indonesia menuju rumah baru dan aku berangkat barengan dengan barang-barang..."

"Kalau begitu, malam ini aku tidur dengan seragam ini?" ekspresi wajahnya berubah menjadi horror membayangkan kalau dia tidur hanya dengan seragam sekolahnya malam ini. Walau dia dalam perjalanan menuju rumah barunya di Indonesia, dia tak bisa bayangkan kalau dia harus tidur tanpa mengganti pakaian dalamnya.

Buru-burulah ia mengecek tasnya. Karena merupakan hari terakhir ia ke sekolah maka isi tasnya tidak seperti kebiasaan siswa yang isinya buku dan peralatan mendukung. Ternyata, dia menyimpan dalaman baru yang masih bersih dan juga seragam cadangan serta baju tidur.

"Haa dengan ini penerbangan malam ini dan pengurusan sekolah baru besok juga aku tidak ada masalah." Gumamnya setelah melihat pakaiannya. Namun, ekspresinya berubah menjadi horror saat melihat tiket penerbangan yang ia terima.

"Jam sembilan empat lima berangkatnya, sekarang jam 6... TIDAK! AKU KEHABISAN WAKTU! MANA STAFF PINDAHANNYA BELUM DATANG! AAAA!!" Sahutnya panik sebelum mendengar pintunya diketuk.

"Permisi kami dari jasa pindahan!" suara itu yang terdengar setelah pintunya diketuk.

"AKHIRNYA!" Sahut Nagisawa yang akhirnya merasa lega dan langsung mengambil tas dan juga map serta tabungnya.

Saat pintunya dibuka, Nagisawa pun mempersilahkan staff jasa pindahan untuk mengangkat dus-dusnya. Serta dia meminta mempercepat pengangkatan dusnya karena dia sudah mepet untuk penerbangannya ke Indonesia. Yang memang disetujui oleh para staf yang masuk.

Setelah semuanya sudah diangkat dan pintu apartemennya dikunci, Nagisawa bergegas memanggil taksi karena jarak tempat tinggalnya menuju bandara Haneda lumayan jauh. Setelah ia mendapatkan taksi, dia meminta supir taksinya untuk bergegas menuju ke bandara. Sebuah permintaan yang sangat beresiko. Namun, perjalanan berlangsung cepat dan tenang bahkan tanpa kemacetan yang dimana sangat jarang terjadi.

Sesampainya dia di bandara, dia pun langsung check-in, menyerahkan paspornya dan langsung boarding. Selagi boarding, dipun mengganti pakaiannya dan memisahkan pakaian kotornya di dalam sebuah kantong yang ia siapkan sebelumnya.

"Akhirnya aku akan meninggalkan negara ini untuk sementara. Sayonara Nippon, welcome Indonesia!" Sahutnya setelah ia mengganti pakaian dan berjalan menuju pesawat karena selesai mengganti baju, ia sudah memasuki panggilan pertama menuju pesawat.

Setela melewati gerbang, dia pun menuju ke pesawat ANA yang menjadi pesawayang mengantarnya menuju Soekarno-Hatta dan kisah hidup barunya dimulai.

Setelah melalui proses imigrasi yang panjang, Nagoisawa saat ini sudah berada di lobby luar dari terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta. Dia pun gugup dikarenakan saat ini ia berada di negara lain tanpa seseorang pun yang ia kenal akrab.

Dia pun melihat sekeliling dan sesekali jam tangannya pun dilirik. Ekspresinya pun mulai menunjukkan rasa gelisah. Pikirannya mulai terbang entah kemana. Kecemasan pun mulai terlihat di wajahnya. Dia pun mulai bergerak maju mundur. Tak lama setelah maju mundurnya, sesosok bapak-bapak pun menghampirinya.

"Maaf, apakah mbak merupakan anak Bam... ah maksudku, Nagisawa Hiroshi?"

Nagisawa pun menatap bapak itu dengan sedikit kebingungan. Bagaimana bias bapak ini mengenali ayahnya walau dia lebih sering berada di Jepang dulu? Itulah yang ia pikirkan saat ini.

"Ah, iya. Maaf. Bapak bagaimana bias mengenali ayah saya?"

Bapak-bapak yang menggunakan kemeja berwarna hijau dengan celana denim hitam itu pun sedikit tertawa dengan ucapannya Nagisawa. Memang, dia kebingungan sama sekali. Tetapi sang bapak mungkin mengingat sesuatu dari bapaknya.

"Ah iya. Maafkan atas tindakan saya. Tetapi, saya merupakan teman dari pak Bambang, maksudku Nagisawa Hiroshi. Oh iya. Namaku Damar. Hari ini aku akan mengantar Ananda menuju rumah baru atas permintaan pak Hiroshi," balas Damar.

"Ah iya, P-pak Damar. A-aku N-Nagisawa H-haku. Tahun ini aku pindah sekolah karena ada sesuatu hal yang terjadi di masa lalu." Balas Haku yang awalnya deg-degan saat mengenali dirinya.

"Haku ya... nama yang bagus nak. Oh iya. Bagaimana kalau kita berangkat menuju rumah barumu sekarang?"

Ajakan dari Pak Damar pun langsung diangguki oleh Haku. Kemudian, dia pun membawa semua barang yang ia bawa saat itu. Tas sekolah dan sebuah koper ukuran besar pun ia bawa dengan hati-hati menuju parkiran dimana mobil Pak Damar berada.

Setelah barangnya ia masukkan ke bagasi, dia pun secara reflex masuk melalui pintu belakang. Walau akhirnya Pak Damar pun mengajaknya untuk pindah ke depan.

Perjalanan menuju rumah barunya pun dilalui dengan santai. Selagi di tengah jalan, Pak Damar pun melempar sebuah pertanyaan kepada Haku.

"Nak, maaf karena kita baru pertama kali bertemu ya, tetapi, bapak dengar kamu memilih pindah ke Indonesia padahal kamu sendiri besarnya di Jepang. Kira-kira kenapa ya?"

Haku pun menatap ke depan sebelum akhirnya ia memulai berbicara.

"Kalau misalnya bapak dihadapi oleh dua pilihan, mengakhiri hidup karena nyaris menjadi pembunuh, atau pindah ke negara lain untuk membersihkan jejak lama. Tentu lebih baik memilih untuk pindah kan?" Haku pun memberikan sebuah pertanyaan balik kepada Pak Damar yang tentu saja dibalas dengan sebuah senyuman dari Pak Damar.

"Jika kamu pernah berada di situasi seperti itu, tentu opsi kedua yang lebih baik dibanding yang pertama. Walau, berat sekali untuk meninggalkan negara yang lama untuk kehidupan kedua kamu yang lebih baik dari keadaan sebelumnya."

"Begitu toh pak... tapi apa tidak apa-apa nih? Maksudku, aku jarang berbicara bahasa Indonesia kecuali sekarang ini. Apakah aku bakal dianggap seperti orang yang sangat asing disni?"

"Ahahaha... kalua untuk kebutuhan baku, kamu sudah lebih dari bagus itu bahasanya. Walau memang, untuk kehidupan sehari-hari kamu terlalu kaku. Tapi, tenang saja anak-anak jaman sekarang mungkin siap membantumu nanti."

Balasan dari Pak Damar barusan membuat Haku pun sadar langkah yang ia pilih saat ini pun mulai mendekati apa yang ia dengar dari juniornya dan juga wali kelasnya di sekolah terdahulu. Air matanya pun mulai mengalir dari matanya.

"Untung aku tidak jadi melompat saat berada di Rainbow Bridge dulu."

Perkataan terakhir dari Haku pun membuat Pak Damar berkeinginan kalua jalan yang mereka lewati saat ini sedang mengalami kemacetan walau untuk sementara. Rasa untuk menghiburnya pun sangat tinggi untuk Pak Damar menuju ke Haku.

Setelah beberapa lama, mereka pun tiba di sebuah rumah yang ukurannya tidak begitu besar. Namun, terlihat dari luar sangat rindang dengan kehadiran sebuah pohon mangga yang rimbun di pekarangan rumahnya. Desain rumahnya tergolong sederhana dan terlihat cocok dengan lingkungan sekitarnya.

"Nah, Haku, inilah rumah yang akan kamu tinggali saat ini. Maa, walau ini terlihat sederhana..."

Perkataan Pak Damar pun terhenti sejenak sebelum akhirnya menyerahkan sebuah kotak, secarik amplop dan kunci rumahnya.

"Ini nak, untukmu. Kunci dan juga titipan dari bapakmu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 10, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Life For You!Where stories live. Discover now