Foundation 01

44 6 5
                                    

Desain undangan pernikahan Aleta itu begitu indah, didominasi warna cover cokelat dengan tambahan aksen pita membuat undangan tampak elegan. Kesan mewah hadir dari sisi pemilihan warna maupun dekorasi bunga keemasannya. Teman SMAnya itu sukses membuat Rafika kagum sekaligus iri, Aleta menyiapkan pestanya dengan paripurna, sayangnya mengusik kejomloan Rafika.

Rafika meletakkan undangan di atas meja lantas mendekat ke cermin. "Udah dekil, kagak laku pula," gumam Rafika sembari menatap pantulannya di cermin. Yah, begitulah Rafika, jangankan orang lain, dirinya sendiri pun ogah berlama-lama di depan kaca, kasihan kacanya, bisa-bisa retak semua.

Tapi dasar Rafika, ia mengambil sisir lantas menyeringai lebar, "Cermin oh cermin, siapa perempuan paling cantik di Bantar Gebang ini?"

"Tentu saja bukan elo, Zheyenk!" Maya cekikikan di belakang Rafika, tiba-tiba muncul seperti hantu. Untung saja iman Rafika sekuat baja, kalau tidak, ia pasti sudah pingsan saking kagetnya.

"Ish! Jahat lo. Tapi ... emang bener sih." Rafika merangkul Maya sambil mengekeh, mengiyakan ucapan sang sahabat.

"Makanya, Fika, sekali-kali dandan dong. Biar kamu enggak kucel, jelek, dekil, idup lagi."

"Sialan, lo!" Rafika menjitak kepala sahabatnya. Mulut Maya terkadang tidak punya saringan, entah ucapan semanis madu atau sepahit empedu lolos dari bibirnya. Rafika harus menebalkan telinga kalau tidak mau berakhir dengan penyakit paling mengenaskan, sakit hati.

"Emang bener kan? Lo tuh enggak bakalan dapat jodoh kalo enggak ngerubah penampilan lo, Ka."

"Emang segampang itu ngedapetin body goals kek lo?" Rafika menyengir lebar, ia belum rela melepaskan semua camilan enak buatan bunda. Rafika terlahir dengan badan kelewat sehat, empat koma dua kilo. Kalau dibandingkan dengan Maya, ibaratnya mereka seperti pasangan angka satu dan nol. Bukan salah bunda mengandung, tetapi bukan pula keinginan Rafika jika ia tumbuh semakin menggelembung. Ketika usianya menginjak setahun, bundanya tak pernah puas jika hanya memberikan makanan dari sayur dan buah, ia menganggap Rafika tidak akan kenyang jika belum mengonsumsi nasi. Jadilah Rafika sebelas dua belas dengan bodi ikan kembung sedikit lagi menyerupai kuda nil.

"Tahan-tahan, Cyn." Maya menyentil jemari Rafika yang ingin merogoh nastar dari toples kaca. "Sebenarnya lo enggak perlu ngotot buat kurus kalo masih suka ngemil. Seenggaknya lo ngejaga penampilan lah." Maya menunjuk ngeri pada Rafika dari ujung rambut ke ujung kaki. "Bertubuh tambun bisa cakep kalo lo ngerawat diri, selalu tampil cantik, bisa ngerias diri, Ka."

"Emang bisa?"

"Ya Allah, Fika. Umur lo dikit lagi masuk tiga puluh. Masak selama lo hidup lo enggak mikirin buat dandan sih." Maya kehabisan akal menghadapi Rafika. Ingin cantik tapi tidak mau usaha. Sama saja bohong. Kali nol. Nihil!

"Sono mandi, abis itu kita jalan. Gue mau ke mal nyari baju buat pesta Aleta sekalian nyalon." Maya menutup hidungnya, mengibaskan tangan seolah Rafika layaknya bakteri mematikan.

"Iya iya, tapi janji, ya. Lo mesti traktir gue satu pan super besar piza Americano."

"Iya, Bawel!"

Rafika mencebik, kemudian melangkah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

Summarecon Mal Bekasi masih lengang, bisa dibilang mereka termasuk pengunjung pertama. Sejak PSBB dilonggarkan, manajemen mal terbuka untuk umum sampai pukul dua puluh satu nol nol. Embusan pendingin menerpa wajah Rafika, membuai kesejukan. Kontras sekali dengan udara di luar, terasa panas menyengat. Lampion merah dengan huruf Mandarin tertulis dengan tinta keemasan bergantung di plafon berpadu serasi dengan lantai keramik merah muda dan cokelat.

KKN [Kuas Kumis Naga]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu