Stranger Old Man

Mulai dari awal
                                    

"Pasti masalah dengan pria" dan mataku melebar, terkejut bagaimana dia bisa tahu? 

"Suamiku" tanpa sadar aku meralat ucapannya. Suasana kembali hening dan aku menengadah menatap langit malam yang bertabur bintang. Begitu ironi dengan suasana hatiku yang baru saja tertoreh luka. 

"Hubungan keluarga memang lebih rumit jika dibandingkan saat kita masih sendiri" Ucap pak tua itu yang sepertinya menatapku sedari tadi. 

Aku mengangguk pelan dan sepertinya air mata mulai mengembun di kedua sudut mataku. 

"Kalian sudah memiliki anak?" Tanyanya sopan dan sebuah kesadaran menghampiriku. Aku teringat pada putraku yang sedang tertidur di kamarnya saat aku dan Max bertengkar hebat. Aku kembali mengangguk lemah dengan pertanyaan pak tua itu. 

"Dia mengkhianatiku dengan berbohong bahwa dia seorang pengusaha..." 

"Kau ingat saat kau menikah dulu?" Dia menyela ucapanku. Aku mengangguk lagi. Dia menggeser posisi duduknya lebih dekat namun tetap menjaga jarak denganku. 

"Di sebuah gereja?" Tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk akan tetapi aku sama sekali tidak mengetahui arah dari pertanyaannya. 

"Coba ingat saat-saat itu. Apa yang kau lihat darinya saat hari pernikahanmu tiba?" Aku memejamkan mata dan jelas sekali aku melihat seorang pria, Max, yang tampan dengan setelan jas abu-abu cerah. Dia terlihat semakin tampan dengan senyumannya yang menawan. Aku sangat menyukai senyumannya yang mampu meredakan segala ketakutan dan amarah yang kadang menghinggapiku. Aku juga melihatnya mengulurkan tangan padaku, menggenggam tanganku erat dan mantap sehingga aku merasa aman dan nyaman berada dalam genggamannya dan aku semakin jatuh cinta padanya. Aku membuka mataku dan air mata yang akan jatuh mendadak sirna. 

"Begitu indah" Bisik pak tua itu. 

"Dia pernah menyakitimu?" Tanyanya tenang. Aku menerawang jauh mengingat kembali kehidupan keluargaku yang penuh dengan kebahagiaan. Tidak sekalipun Max mengasariku bahkan membentak kasar padaku. Putra tunggal kami yang sekarang berusia 4 tahun, Jason, menjadi pelengkap kebahagiaan kami. Aku menghembuska napas berat denga perlahan dari mulutku dan kembali menatap pak tua itu. 

"Apa yang kau doakan setiap akan tidur?" Tanyanya dan aku tersipu malu bahwa aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berdoa. 

"Aku mengerti. Kau pasti telah mendapatkan kebahagiaan dalam keluargamu" Gumamnya lemah dan rasa kasihan tiba-tiba menguasaiku saat menatap dalam-dalam pak tua. Pelan-pelan aku mendekatinya dan aku melihat matanya diliputi air mata. Aku membekap mulutku menahan rasa trenyuh yang tiba-tiba melanda dan spontan aku mengelus punggung tangannya yang mulai berkeriput terkulai di atas pangkuannya. 

"Kau mencintai suamimu?" Aku mengangguk dan menundukkan kepala. 

'Tentu, aku sangat mencintain Max. Dia hidupku' 

"Apa dia memintamu pergi?" Kali ini aku menggeleng dan rasa sakit yang ada di benakku akibat pengkhianatan Max mendadak berudah dengan rasa rindu luar biasa pada suamiku. 

"Lalu kau meninggalkannya padahal kau mencintainya?" 

"Dia mengkhianatiku dengan berbohong kepadaku!" Aku mengelak dengan rasa rindu itu. 

"Apakah dia memiliki alasan mengapa dia berbuat begitu?" Tanyanya lagi 

"Alasan hanya akan membuatnya menutupi kebohongan lain dengan kebohongan" Ucapku getir. 

"Kepercayaan adalah hal yang penting dalam keluarga" 

"Cinta kasih yang paling penting" Sanggahku dan dia tersenyum kecil padaku. 

"Ketika kau mencintainya dengan tulus maka kepercayaan dengan sendirinya menghiasi seni akan kasih" Aku merasakan sebuah genggaman lembut dari tangan keriput pak tua itu. 

"Jika kau berdoa suatu saat nanti, apa yang akan kau pinta pada-Nya?" Mata pak tua itu memancarkan sinar yang menghangatkan hatiku. 

"Kebahagiaan, kekuatan untuk menghadapi kehidupan, keberanian" 

"Dan apakah Tuhan akan memberikan langsung kepadamu?" Kepalaku kiring ke salah satu sisi, menatap bingung pertanyaan pak tua itu. 

"Tuhan akan memberikan peluang untuk kau bahagia, Tuhan akan memberikan peluang untuk kau kuat. Melalui apa? Melalui cobaan, anakku" Aku merasa tersentuh mendengar perkataan pak tua itu dan tanpa permulaan, air mata telah kembali meleleh menuruni lekuk pipiku yang tadinya sudah mengering. 

"Saat kata perpisahahn belum terucap darinya, maka kau adalah harta paling berharga baginya dan dia adalah harta paling berharga bagimu. Ketika cinta masih ada maka percayalah. Dengarkan dia, anakku. Dengan mendengarkan maka kalian akan mengerti satu sama lain. Inilah peluang yang Tuhan berikan pada kalian berdua, anakku." Air mata semakin deras membasahi pipiku dan aku benar-benar merindukan Max... Dan Jason. Aku ingin kembali, aku ingin memeluk Max, aku ingin memaafkannya dan aku akan menjadi istri yang mendengarkannya, menjadi satu-satunya tempat mencurahkan segalanya bahkan hal yang paling rahasia darinya dengan aman dan nyaman sama saat aku merasa aman dan nyaman dalam genggamannya. 

'Aku... Aku merindukanmu, Max!' Ucapku dalam hati. 

"Pulanglah, anakku. Kau pasti sangat merindukan mereka, bukan?" Senyuman yang penuh dengan keanggunan dan kebijaksanaan terpancar dari wajah pak tua itu. 

Aku mengangguk padanya sambil mengusap pipiku dengan telapak tangan secara perlahan. 

'Yah, aku merindukan Max dan Jason, putraku, putra kami' 

Aku bangkit berdiri dan cepat-cepat melangkahkan kakiku menuju rumah. Aku menghentikan gerakku secara mendadak teringat bahwa aku belum mengucapkan terimakasih pada pak tua itu bahkan aku tidak mengetahui namanya. 

"Terimakasih, sir.." Ucapanku terhenti saat menatap kosong bangku yang kami duduki. Aku melihat ke segala penjuru berusaha mencari pak tua tadi namun bagai ditelan bumi, aku tidak bisa menemukannya. Dia menghilang begitu saja. Entah siapa dia, tapi dia telah membuatku sadar bahwa aku sangat mencintai Max. Aku tidak sanggup pergi meninggalkannya dan aku akhirnya kembali. 'Aku pulang, Max!'

Stranger Old ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang