1

17 1 0
                                    

Kamu tidak bisa kembali dan mengubah hal-hal yang ada, tetapi kamu bisa belajar dari hal itu dan mengambil tindakannya sekarang.

~~~

"Masuk, Mei." perintah Ayara. "Lo mau sampai kapan berdiri di pintu begitu?"

Meira menatap Ayara sebentar lalu melangkah masuk ke rumah peninggalan Kakek dan Neneknya Ayara, sebelum gadis itu memerintahkannya dua kali.

Sekarang ini mereka sudah berada di kota Bandar Lampung. Seperti yang sudah direncanakannya minggu lalu, Meira akan kembali ke kota ini untuk mencari sebuah informasi. Begitu juga dengan Ayara, ia memaksa ikut dengan alasan ingin menjaga Meira selama di sini. Ayara juga yang memberikan usul untuk tinggal di rumah Kakek dan Neneknya yang memang sudah lama tidak ditinggali dan masih layak pakai. Masalah sekolah, Ayah Ayara sudah mengaturnya sejak dua hari yang lalu. Sebenarnya Meira tidak ingin merepotkan siapapun, tetapi Ayara terus memaksanya. Terlebih, sedari dulu hidupnya sudah banyak sekali merepotkan oranglain.

Dia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Rumah ini tampak seperti rumah tradisional zaman dahulu, banyak lukisan dan barang antik yang terpajang. Kedua mata Meira berhenti ketika menatap satu buah figura besar berisi foto keluarga. Disana ada sepasang suami istri paruh baya, Om Jay -Ayah Ayara- dan satu lagi Pria yang tidak begitu jelas. Meira tampak mengerutkan keningnya, sepertinya ia tidak asing dengan Pria itu.

"Kamu gak pernah cerita sama aku kalau Papamu punya saudara, Ra?"

Aktivitas Ayara yang sedang memindahkan koper terhenti, ia berbalik menatap Meira kemudian melirik ke arah figura besar yang terpajang di dinding dekat lemari.

"Oh, itu, Saudara Papa udah meninggal sepuluh tahun yang lalu." jawabnya.

"Meninggal?"

Ayara mengangguk. "He'em." gadis itu berjalan ke arah figura itu lalu mengambilnya. "Kalau ngerasa gak nyaman sama foto ini, biar nanti gue pindahin ke gudang deh, ya." tuturnya.

"Tunggu, Ra." cegah Meira.

Ia melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Ayara, penasaran dengan Pria yang ada dalam foto itu.

"Kok mukanya buram gini, kayak habis terbakar." kata Meira, matanya tak lepas dari foto.

Ayara segera menangkis pelan tangan Meira saat cewek itu ingin menyentuh bagian foto yang menghitam. "Lo ngomong apa sih, ini kayaknya gara-gara debu. Lagian foto ini udah lama banget, jadinya gini." ujarnya.

Meira menatap Ayara curiga. Gelagat Ayara seperti sedang menutupi sesuatu yang tidak boleh diketahui siapapun, termasuk dirinya.

"Mungkin kali, ya." gumam Meira. Kerutan di keningnya mulai hilang, mungkin Ayara memang sedang menutupi sesuatu. Ia tidak mau terlalu kepo dengan masalah pribadi Sahabatnya itu.

"Ya udah, kita istirahat yuk, capek." ajak Ayara.

Meira mengikuti langkah Ayara yang terus berjalan semakin ke dalam. Dia kemudian ikut berhenti ketika Ayara terdiam di depan pintu sebuah kamar. Sebelah tangan cewek itu menggenggam daun pintu itu cukup lama, seolah ragu untuk membukanya.

Baru saja Meira membuka mulutnya untuk bersuara, Ayara sudah membuka lebar pintu kamar itu. Nuansa abu-abu langsung menyambutnya, membuat Meira dapat menebak dengan mudah bahwa ini adalah kamar laki-laki.

DETERMINED Where stories live. Discover now