Kepada Biru

65 9 15
                                    

Requested by: frasarahsa
Jaehyun as Angkasa Alubiru/Biru

1.694 words

|||

Angin berembus pelan menusuk tulang. Seakan ia ikut mengelilingi di sekitar tubuh. Jalanan malam ini cukup ramai. Banyak pengunjung di dalam toko-toko, cafe, atau rumah makan. 

Langit hitam pekat menaungi kota. Hari ini bintang dan bulan bersembunyi di balik awan-awan mendung. Membuat Embun mengeratkan sweater woll-nya. 

Walau suhu menunjukkan 13° celcius di negeri sakura, Embun tetap berjalan tenang. Menikmati suasana malam. Di mana lampu-lampu dari bangunan berpendar lembut menghiasi gelap. Pepohonan samping trotoar dililiti lampu-lampu hias, ia seperti menemani pejalan kaki yang sendirian. Seperti Embun saat ini. 

Embun menyesap pelan aroma matcha latte dari cup yang ia genggam sejak tadi, beriringan dengan musik yang berganti otomatis di air pods-nya. 

Aneh sekali, bagaimana suatu hal kecil dapat membuat kita mengingat hal besar? Hanya sebuah lagu berdurasi kurang lebih tiga menit yang secara tak terduga menjadi pintu masuk Embun mengingat kisah lamanya dengan seseorang. Kisah yang sudah lewat beberapa tahun kebelakang.

Maka, pikirnya tak apa untuk mengingat sesuatu yang membuatnya kembali belajar dari masa lalu. Di mana nama seseorang tersimpan rapi hingga saat ini. 

Hari itu hari Senin. Pagi hari yang buruk. Sesuatu telah membuat suasana hatiku hancur. Huhhh... bagaimana tidak? Saat aku akan naik angkutan umum di pertigaan seperti biasanya, tiba-tiba ada seorang perempuan—yang kuyakini dia adik kelasku di sekolah—tiba-tiba mendahuluiku. Bahu kanannya menubruk bahu kiriku hingga aku hampir terjatuh jika tidak segera berpegangan.

Sebelum dia naik ke dalam angkut, aku mencegatnya pelan. "Dek, maaf. Ini udah ngantri, lho."

Dia menoleh sebentar lalu menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar jelas di telingaku. Kemudian masuk begitu saja tanpa merasa bersalah—seperti itu yang aku lihat dari raut mukanya. Maka setelah itu, aku merasa sebal, ingin marah, rasanya seperti aku ingin menggulingkan angkutan ini bersama orang itu di dalamnya lalu menenggelamkannya di kolam belakang rumahku. Tapi aku berusaha sekeras mungkin agar tidak melampiaskan marah dan umpatan yang buruk. 

Bukan masalahnya aku gila hormat oleh dia yang secara adik kelas, dua tingkat dibawahku. Tapi yang aku tahu, dari bagaimana orang tua mengajariku, bahwa menyela antrian adalah hal yang tidak baik. Aku hanya ingin adik kelas itu tahu dan sadar agar tidak seperti itu lagi. 

Itulah kiranya yang membuat mood ku hancur pada pagi hari. Aku berjalan menghentakkan kaki sekuat yang aku bisa. Barangkali hal itu dapat membuat amarahku jatuh ke tanah. Walau kenyataannya tidak. 

Sekarang aku sudah sampai di sekolah.

"Sera!"

Setelah kupanggil, terlihat Sera yang sedang menyimpan protokol upacara di tempatnya terlonjak kaget. "Apaan? pagi-pagi udah teriak, bisanya hemat suara."

Aku tidak memedulikan ucapan Sera barusan. Aku langsung membuang tasku sembarangan ke dalam ruang OSIS. Aku begitu setiap kali moodku tidak baik. 

Garis TintaWhere stories live. Discover now