Bab 1 Malam Panas dengan Bos

3.6K 22 1
                                    

Maia Prameshwari, perempuan berusia dua puluh empat tahun ini memutuskan kembali ke tanah air setelah empat tahun lamanya menimba ilmu di Amerika. Meski dia adalah anak seorang pengusaha ternama tetapi Maia tak sekalipun berniat bekerja di perusahaan sang ayah. Ia memilih melamar pekerjaan di perusahaan lain. Bukan karena ia tak berbakti kepada orang tua, tetapi ia ingin mengukur kemampuan yang ia dapat selama menimba ilmu serta mencari pengalaman sebelum ia benar-benar terjun di dunia bisnis seperti sang ayah.

“Kamu yakin akan bekerja di sana, Sayang?” tanya sang ayah memastikan. Ia tahu benar bagaimana kejamnya peraturan di tempat putrinya bekerja saat ini.

Maia meletakkan sendok dan garpu yang ia pegang di atas piring, ia menolehkan kepalanya kearah sang ayah dengan senyuman manis. “Yakin, Dad. Tenanglah, Maia akan baik-baik saja.”

“Baiklah, Dad percaya kepadamu.” Alex meraih jemari Maia, ia mengusap lembut punggung tangan sang putri.

Maia menganggukkan kepalanya, ia cukup tenang melihat senyuman kecil sang ayah saat ini. Maia melanjutkan sarapannya kemudian segera bergegas untuk pergi ke kantor. “Dad, Mom, Maia berangkat dulu. Bye ….”

“Kenapa buru-buru sekali,” protes sang ibu. Wanita paruh baya yang berparas rupawan dengan penampilan bersahaja itu terlihat mengerucutkan bibirnya.

Maia terkekeh, ia buru-buru memeluk ratu di hatinya itu. “Mom, Maia karyawan baru. Maia tak ingin memberikan kesan yang kurang bagus pada atasan.”

Maia membujuk sang ibu, ia mencoba menjelaskan jika semua yang ia lakukan adalah demi kebaikannya. Tentu saja Margaretha, atau yang biasa dipanggil Reta itu luluh dan memaklumi sifat sang putri.

“Hati-hati di jalan ya, Sayang. Jangan lupakan makan siang dan segerahlah pulang.” Reta mengusap lembut kedua lengan Maia, ia mendaratkan kecupan manis pada dahi Maia sebelum Maia benar-benar meninggalkan rumah.

***

Jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit, masih ada waktu dua puluh lima menit untuk Maia menikmati secangkir kopi. Maia pergi ke pantry untuk membuat kopi, ia mengambil sebuah cangkir kemudian mulai meracik kopi, Maia membawa kopi buatannya kearah balkon pantry, ia duduk di bangku kayu yang tersedia di sana, menyesap kopi buatannya perlahan sembari memejamkan mata menikmati harum yang menguar dari asap kopi.

“Hemm, harum sekali,” gumamnya lirih sembari tersenyum tipis.

Seseorang lainnya sedang melakukan hal yang sama di balkon ruangannya, ia tanpa sengaja menoleh kebawah memperhatikan apa yang sedang Maia lakukan. Ia diam-diam mengulum senyum ketika melihat tingkah menggemaskan Maia. Sebuah senyuman yang sangatlah langka dilihat oleh kebanyakan orang.

“Siapa dia? Kenapa dia terlihat begitu bahagia meski hanya menikmati secangkir kopi saja,” gumam orang tersebut.

Maia menilik jam yeng melingkar di pergelangan tangannya. “Kurang delapan menit,” gumam Maia. Ia segera masuk ke dalam dan menuju ke ruangannya, bersamaan dengan itu senyuman seseorang itu pun memudar, ia buru-buru masuk ke dalam ruangan dan melanjutkan rutinitasnya. 

Maia melangkahkan masuk ke dalam ruangan, ia baru saja hendak duduk di tempat duduknya tetapi salah seorang rekan kerja Maia memanggil dan menyodorkan sesuatu. Maia mengamati kertas tersebut yang tidak lain adalah sebuah undangan.

“Undangan apa ini, Mbak?” tanya Maia kepada Mutia, kepala timnya.

“Oh, itu undangan untuk tim kita, Mai.” Mutia sedikit menoleh tetapi kakinya tetap melangkah ke depan, ia membagikan semua undangan di tangannya kepada semua anggota staf keuangan.

“Undangan apa sih, Mbak?” tanya Maia yang enggan membaca undangan di tangannya.

Mutia kembali melangkahkan kaki mendekati Maia. “Malam ini akan ada pesta hari jadi perusahaan, semua karyawan wajib datang, Mai.”

“Termasuk aku?” Maia menunjuk dirinya sendiri.

“Ya, tentu saja. Bos akan memotong gajimu jika kamu tidak datang nanti.” Mutia menjawab dengan tatapan mata yang horor membuat Maia bergidik.

Maia menghembuskan nafas kasar seraya memutar bola matanya ketika mendengar penjelasan dari Mutia. Sementara Mutia hanya terkekeh melihat ekspresi Maia. Pesta adalah hal yang disukai oleh Maia, tetapi pesta yang di dalamnya aka nada sosok si bos membuat Maia membayangkan suasana mengerikan nantinya. Yap, selama beberapa hari bekerja di ORB Company ia sudah mendengar sedikit banyak tentang kehororan si bos yang memiliki sifat dingin dan kejam kepada semua karyawannya.

“Ck malas sekali! Semoga nanti Big Bos tidak datang!” gumamnya pelan. Maia memoles wajahnya di depan cermin dengan alakadarnya saja. Ia mengenakan dress selutut dengan model sabrina yang mengekspos bahu indahnya dan memberikan kesan anggun serta seksi pada mata yang memandangnya.

Pukul tujuh lewat lima belas menit Maia berangkat menuju ke hotel tempat acara berlangsung. Sesampainya disana suasana ballroom sudah sangat ramai dipadati oleh tamu undangan. Maia mengedarkan pandangannya, ia mencari keberadaan teman-teman satu timnya. Namun, ia tak menemukannya. Ia memilih duduk di kursi deretan pinggir, membawa beberapa cake yang telah disediakan dan memakannya untuk menghilangkan rasa bosan selama acara berlangsung.

Di penghujung acara, para tamu wanita tampak berdiri dan bergerombol di depan panggung, entah apa yang membuat mereka seantusias itu, tak lama setelahnya sesosok pria tampan dengan penampilan formal serta kaca mata hitam yang bertengger di matanya berdiri di atas panggung. Kilatan lampu flash dari ratusan kamera terlihat silih berganti menyala, mengabadikan momen langka tersebut. Dari kejauhan Maia bisa melihat wajah pria itu dengan jelas, rahangnya yang kokoh dengan pahatan wajah yang maha sempurna. Pantas saja membuat siapapun wanita yang melihatnya terpikat. Dialah bos ORB Company. Ini adalah kali pertama Maia melihat bosnya. Jujur saja, sebagai wanita ia memang mengagumi ketampanannya, tetapi tidak dengan hatinya.

Maia, bangkit dari tempat duduknya, ia mengambil segelas minuman secara asal kemudian pergi dari ballroom menuju ke roof top hotel. Ia sama sekali tidak berpikir yang macam-macam. Ia duduk di atas sendirian menikmati sepoi-sepoi angina malam sembari memakan sisa cake yang ia ambil dari pesta. 

“Dari pada aku jenuh dengan di dalam, lebih baik aku disini. Udaranya sejuk dan pemandangannya bagus.” Maia berucap sembari menguyah potongan cake.

Sesaat kemudian, ia meraih gagang gelas minuman yang ia, menegaknya secara perlahan. Kulit di sekitar dahi Maia mengerut, ia kembali mencecap minuman tersebut. “Rasanya aneh! Minuman apa ini?” tuturnya seraya mencium baunya.

Tidak ada yang mencurigakan dari bau minuman yang ia bawa, ia pun kembali meminumnya hingga tandas. Sepersekian detik ia merasakan pusing hebat di kepalanya. Ia buru-buru bergegas dari sana kemudian menuju ke area resepsionis hotel dan memesan sebuah kamar presidential suite untuknya bermalam malam ini karena ia tak mungkin pulang dalam keadaan seperti itu.

Maia hendak masuk ke dalam kamarnya, tetapi ia keliru masuk ke dalam kamar yang berada tepat di samping kamarnya yang pintunya terlihat sedikit terbuka, ia menerobos masuk begitu saja,  membaringkan tubuhnya yang sudah lemah asal ke atas ranjang tanpa memperhatikan area sekitarnya.

Seseorang pria tampan yang juga sedang kehilangan kewarasannya tersenyum jumawa, ia bangun dari tempat duduknya dan menyusul Maia yang telah membaringkan tubuhnya di atas ranjang terlebih dahulu.

“Elle, Sayang,” rancaunya sembari merapatkan tubuhnya dengan Maia.

“Aku sangat mencintaimu, Elle! Aku merindukanmu,” tuturnya sembari mengulum senyum.

Pria tersebut meraih tubuh Maia, mencium bibirnya lembut dan begitu menuntut. “Elle, Sayangku,” bisiknya lirih.

One Night With My Boss (TAMAT di Dreame) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora