Park Chanyeol mendengus, memaklumi tingkah laku bawahannya yang terkadang luar biasa itu. "Aku ingin kau berjaga malam ini."

Hendery terlihat keberatan. "Malam ini, Tuan?"

"Iya, malam ini. Jangan membantah apapun."

Hendery menelan ludah untuk kedua kalinya. "Apa yang harus saya lakukan?"

"Mengintai kabin khusus awak kapal. Jangan tidur!" Bentakan Chanyeol membuat mata Hendery sontak melebar. "Aku ingin kau mencari tahu dimana senjata itu berada."

"Maaf, Tuan, tapi senjata apa?"

"Star Firestar M43, 9×19 milimeter Parabellum." Chanyeol mengatakan nama senjata selancar menjawab pertanyaan tentang cuaca.

Hendery memiringkan kepalanya. "Tapi saya kiraㅡ"

"Ya, nak," potong Chanyeol. "Lee Jeno memang ditembak oleh pistol peluru 29,69 milimeter. Tapi senjata yang ada di sampingnya malam itu adalah revolver kaliber 50."

Ia lalu memandang datar Hendery yang sedang tersentak. "Betul, nak. Itu berarti masih ada satu pistol lagi di kapal ini."

●●●

Beberapa jam sebelumnya.

Dejun menjunjung plastik yang membungkus sarung pistol itu tinggi-tinggi. Setelah meminta sepasang sarung tangan plastik dari restoran, ia buru-buru pergi ke kamar untuk melakukan pemeriksaan.

Dengan hati-hati, dirobeknya plastik koyak yang membungkus sarung pistol itu dan digeserkannya ke samping meja. Dengan lebih hati-hati, dibolak-baliknya sarung pistol yang terbuat dari kulit sintetis itu. Ia lalu terkekeh.

"Revolver kaliber 50 apanya," ujarnya. "Ini, sih, sarung pistol semi otomatis."

●●●

Atlantik sudah ditenangkan oleh gelapnya malam. Meskipun petir masih banyak bergemuruh, tapi tak ada yang menggelegar. Maria Russel yang telah seharian mati, kini lebih mati. Para awak kapal yang sudah puas bekerja sambil terbanting-banting arus memilih untuk beristirahat sebentar sebelum mengurusi makan malam.

Jeno menggerakkan kruknya dengan pelan-pelan. Di lambung kapal, pramugari banyak berkumpul, menanti posnya digilir oleh pramugara. Seragam-seragam mereka yang berwarna biru cerah beriak seperti kunang-kunang, dan perbincangan mereka terdengar seperti suara gerombolan bebek yang tengah digiring.

Dengan mengandalkan matanya yang baru dioperasi lasik, Jeno mengawasi dari atas, di geladak dua. Dari banyaknya pramugari dan pramugara yang berkumpul di sana, Jeno menangkap tangan yang membentuk sebuah tanda dengan teliti. Pemuda itu bergegas turun melalui tangga.

Di persimpangan tangga gelap tersebut, Jeno mendapati sebuah pintu. Kenopnya ia tekan menggunakan siku tangan kirinya dan pintu pun dengan mudah terbuka.

Ruang penyimpanan Maria Russel amat tidak serasi dengan kemewahan kapal itu. Tak ada akses cahaya matahari dan tak ada pula lampu yang memadai sehingga dindingnya terasa lembap dan berbau apek. Satu-satunya penerangan yang dapat diandalkan adalah bohlam 1 watt yang kadang mati apabila gerak kapal melonggarkannya.

Salah satu dinding ditutupi oleh loker kayu berbentuk kubik. Setiap loker ditutupi seadanya oleh kertas mika berwarna hitam. Mata Jeno meraba setiap sudut loker itu dan berusaha menebak apa kira-kira yang disembunyikan di balik tiap-tiap kertas mika itu.

Dalam keheningan yang hampir absolut, Jeno dapat mendengar derap langkah seseorang menuruni tangga. Pikirannya berputar dengan cepat. Dengan sedikit sekali kemungkinan untuk melarikan diri, Jeno cepat-cepat berjongkok di sebelah jajaran loker.

High By The Beach ● HenXiao ●Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu