Prolog

4.7K 506 27
                                    

Happy reading

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy reading

====

Hujan tak juga reda sejak semalam, suara air berjatuhan disertai suhu yang semakin dingin membuai orang semakin larut dalam tidurnya. Termasuk Alika, gadis itu masih bergelung di dalam selimut enggan beranjak untuk  bersiap menuntut ilmu.

"Al, bangun," panggil ibu dari balik pintu kamar.

Alika menggeliat. "Iya," sahutnya sambil mengetatkan selimutnya lalu kembali melanjutkan tidurnya.

Tiga puluh menit berlalu sejak suara ibu memanggil. Di luar suara hujan masih terdengar walaupun tak sederas sebelumnya. Alika terbangun mendengar alarm gawainya berbunyi, mengucek mata sembari mematikan suara alarm. Ia beringsut ke sisi kasur, melipat selimut bekas pakainya lalu berjalan ke luar kamar dengan handuk tersampir di bahu.

"Solat Al," ucap ibu saat anak gadisnya melewati dapur.

"Iya, Bu, ini mau wudu," jawab Alika dengan tubuh yang berjalan sempoyongan.

Ibu sedang menyiapkan dagangannya, membuat   gorengan untuk dijual saat di depan rumah bersama nasi uduk dan lontong sayur,  pembelinya para tetangga di lingkungan sekitar. Sejak bapak Alika berpulang ke rumah Allah setahun lalu, ibu yang banting tulang mencukupi    kebutuhan sehari-hari dan sekolah Alika dan adiknya. Beruntung uang tabungan bapak masih sanggup membantu semua biaya.

"Kak, masih lama?" teriak Hana dari depan pintu kamar mandi.

Baru saja masuk, bajunya saja belum Alika buka, baru celana pendek bermotif polkadot yang terlepas dari tubuhnya. "Masih," jawab Alika sedikit kesal.

"Mules nih," kata Hana yang masih berdiri di depan pintu memegangi perut.

Alika memutar bola mata, hafal kebiasaan adiknya. Ia lantas keluar dengan handuk yang melingkar menutupi bagian bawah tubuhnya. "Buruan," ucapnya.

Setiap pagi perkara rebutan kamar mandi selalu terjadi, mungkin hampir di setiap rumah, tapi Alika yakin hal yang sedang ia alami tidak akan terjadi di rumah Diana, sepupunya yang punya kamar mandi pribadi di kamarnya. Rumahnya besar, ayahnya seorang pedagang yang mempunyai beberapa cabang toko di kota Bogor. Beruntung sekali Diana yang anak tunggal. Sudah kaya, cantik, populer, pintar pula pantas kalau banyak murid yang bilang ia dan Prasetya cocok jadi pasangan.

Prasetya.

Hanya mengingat namanya saja sudah membuat pipi Alika merona. Untuk beberapa menit, Alika tersipu seorang diri mengingat bagaimana lelaki itu menjadi pemimpin upacara, tampak sangat berwibawa di bawah cahaya matahari pagi.

"Al, buru, nanti keburu subuhnya habis," omel ibu yang berjalan membawa bakul nasi ke teras depan.

Alika kembali ke dunia nyata, malu sekali dirinya kepergok sedang mesam-mesem oleh ibu. Oh ternyata tidak hanya ibu, Hana sudah keluar dari kamar mandi dan melihat Alika sembari terkekeh geli.

"Bayangin cowok lo ya, Kak?" tanya Hana meledek.

"Sok tau ah anak kecil," hardik Alika sambil bergegas masuk ke kamar mandi.

"Yeee, orang nanya," balas Hana.

===

SMP Karya Bakti masih tampak sepi, awan gelap diatas bangunan tingkat dua tampak begitu jelas. Suasana syahdu begitu terasa apalagi ketika tetesan air yang jatuh dari pepohonan sisa hujan semalaman terdengar.
Alika berjalan memasuki bangunan sekolah penuh kehati-hatian, takut cipratan air  membasahi kaus kaki atau roknya. Keadaan tampak lenggang, hanya satu dua murid yang terlihat selain Alika, kemungkinan murid kelas tiga yang harus mengikuti pelajaran tambahan untuk persiapan ujian nasional.

Pukul enam kurang lima menit, seperti hari-hari sebelumnya Alika sudah duduk di ruang kelasnya. Bukan karena rajin dan semangat menuntut ilmu yang tinggi, tapi karena jarak sekolah yang lumayan jauh membuat Alika memilih lebih awal berangkat dan menghindari titik-titik kemacetan.

Alika duduk di bangkunya, merebahkan kepala diatas tasnya yang sedikit basah terkena gerimis, matanya terpejam berharap bisa tidur beberapa menit saja. Namun, sayang tidak bisa, suasana mendung membuat ruang kelasnya tampak menyeramkan untuk ditempati seorang diri. Ia memilih keluar, duduk di bangku yang tersedia di lorong kelas. Musik kesukaan terdengar dari earphone yang dikenakannya. Lumayan, mengusir kesepiannya.

Cukup lama Alika duduk disana, hampir empat lagu dari penyanyi yang sama didengarkannya tatkala matanya bertemu pandang dengan lelaki yang namanya sempat terlintas diotaknya tadi pagi.

Prasetya.

"Sendiri?" tanya Prasetya.

"Hah?"

"Kamu sendirian?" tanya Prasetya lagi.

"I-iya."

"Berani?" Kerut di dahi Prasetya terlihat, tampak tak percaya.

"Ehm ...." Bola mata Alika berputar, bingung mencari jawaban.

"Mau ditemani sampai teman kamu ada yang datang?" tanya Prasetya menawarkan diri.

Tentu saja Alika tidak menyangka ucapan tersebut akan ia dengar, ditemani seorang Prasetya tidak pernah terlintas di benaknya palagi duduk berdua di bangku sekolah hanya berdua saja seperti saat ini. Iya, duduk berdua, Prasetya seolah tidak membutuhkan jawaban Alika, ia langsung duduk di sebelah Alika. Jangan tanya bagaimana perasaan Alika sekarang.
Otaknya sudah membeku, tidak mampu berkata apapun hanya sanggup menunduk sambil menahan senyum bahagianya.

Hari ini, dilorong kelas, di bawah atap yang diguyur rintik hujan sambil menikmati senandung Prasetya mengikuti lirik lagu yang terputar di ponselnya. Suasana seperti ini tak akan terlupakan oleh Alika. Ia akan selalu mengingat momen di pertengahan Februari ini, sambil berharap apa yang sedang ia alami menjadi awal kedekatannya dengan Prasetya.

===

Falling in Love with Him, Again!Where stories live. Discover now