50. Titik Akhir

Beginne am Anfang
                                    

Kerangka itu dibalut pakaian berupa kaus yang warnanya tidak lagi bisa dikenali. Di dalam salah satu kantung celananya, ketika Dimas mencoba meraba-raba, dia menemukan sebuah benda yang telah berkarat pada bagian permukaannya. Sebuah kalung berantai patah. Terdapat foto lawas di dalamnya. Dan ada wajah-wajah yang sangat Dimas kenali di dalam sana; Eja yang sedang tersenyum manis, juga Bunda Elizar yang tampak masih begitu muda. Sementara di sisi mereka, berdiri seorang pria yang wajahnya tampak membayang. Potret jadul itu seperti terkena bekas percikan air sehingga sebagian besar gambarnya terlihat memburam dan sulit dicermati.

Penemuan kalung berantai itu membuat Dimas mulai meyakini bahwa identitas kerangka yang dia temukan tersebut adalah benar Letnan Samsuri. Apa yang Dimas saksikan merupakan sebuah kenyataan pahit yang harus ditelannya dengan susah payah. Letnan Samsuri tidak mendapat tempat peristirahatan yang layak. Dia bertanya-tanya akan apa yang membuat Letnan Samsuri pantas mendapatkan ini semua. Di matanya, Letnan Samsuri adalah pria yang baik. Tidak seharusnya dia mati dengan cara seperti ini. 

Membayangkan itu semua, membuat air mata Dimas jatuh bercucuran di wajah. Lambat laun dia berhenti menggali tanah di sekitar kerangka itu. Saat diperiksanya dengan lebih teliti, Dimas mendapati fakta bahwa kerangka itu ternyata tidak memiliki bagian tengkorak kepala. Dimas berupaya mencari-cari di sekitar rerumputan. Akan tetapi, dia justru menemukan jejak perkelahian di dekat situ. Tanah di sekitarnya terlihat berantakan. Di antaranya terdapat jejak yang cukup panjang, kelihatannya seperti jejak seseorang yang diseret-seret. Dimas tidak begitu yakin akan dugaannya. Namun, dia mengira, barangkali Eja sempat diserang oleh pria gila bernama Haszni Yusuf itu di tempat ini.

Lantas, di mana mereka sekarang?

Dimas tampak kebingungan. Pada akhirnya dia terpaksa meninggalkan kerangka tubuh Samsuri di tempat itu. Eja adalah hal yang harus dia prioritaskan sekarang. Kendati pencarian ini belum membawa Eja kepadanya, Dimas tidak ingin kehilangan harapan begitu saja.

________________________

Dimas yakin dirinya tidak salah dengar. 

Sejak beberapa saat yang lalu, dia mendengar suara-suara yang terus menganggunya, yaitu gelak tawa seorang pria yang menggema di penjuru mata angin.

Dimas memaksa indra pendengarannya bekerja lebih keras. Suara itu sesekali hilang. Lalu timbul lagi. Dan kali ini terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Seolah-olah ia hanya berjarak sekian meter jauhnya

Berjalan lurus dengan langkah ringan, Dimas berupaya agar derap langkah kakinya tidak menimbulkan suara saat menginjak dedaunan kering. Dia lalu membungkuk dan mengintip di balik belukar yang tumbuh setinggi pinggang. Menilik situasi di sekitarnya. Hingga kemudian, gurat cemas di wajahnya berganti dengan senyum lebar, dan perasaan cemas yang sedari tadi mengepung dadanya hilang begitu dia berhasil menemukan sosok Eja di balik sebuah batang pohon yang rebah di atas tanah.

Dimas hendak berteriak memanggilnya. Namun, dari arah lain Haszni Yusuf tiba-tiba muncul dan membuat dia terpaksa harus mengatupkan rahang. Pria itu lagi-lagi tertawa. Berbicara dengan sangat keras dan mengancam akan membunuh Eja jika dia sampai menemukan keberadaannya.

"Kau akan bernasib sama seperti ayahmu. Tidak akan ada seorang pun yang akan menemukanmu di tempat ini."

Dimas mengepalkan kedua tangannya. Pria tua itu benar-benar segila seperti yang apa Depari katakan. Tatapannya liar dan penuh oleh hasrat membunuh. Dimas harus segera mencari cara untuk mengalihkan perhatian pria itu. Beberapa langkah lagi, Haszni Yusuf akan mencapai tempat persembunyian. Dimas tidak bisa membiarkannya.

Dengan cepat Dimas melepas pengait arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Benda itu cukup berat untuk dia lemparkan sejauh mungkin hingga menghantam keras sebuah pohon. Upaya yang Dimas lakukan itu pun berhasil membuat Haszni Yusuf menjauh dari lokasi persembunyian Eja untuk sementara  waktu. Pria itu dengan cepat berlari menuju sumber suara dan kesempatan emas itu pun tidak Dimas sia-siakan begitu saja.

SIGNAL: 86Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt