***

Aku dan Fiona. Itu bukan patah hati sungguhan. Dan seperti apa patah hati sungguhan? Seperti yang ditulis Max di jurnalnya. Begitu menyiksa. Segala sesuatu mengingatkanmu akan dirinya, seperti candu tak peduli betapa pun sakitnya itu.

Aku menggulung diri di tempat tidur, menyelubungi diriku dengan selimut. Aku hanya ingin tidur. Mama mengantarku pulang ke rumah pagi-pagi sekali. Menurutnya, di rumah papa lebih banyak orang, jadi lebih baik bagiku untuk pulang ke rumah. Bagiku di manapun juga tidak jadi soal. Perasaanku tetap sama, getir!. Aku ingin berbuat apa saja untuk Lyra, menghiburnya, bahkan mengambil penyakitnya kalau perlu.

"Olly?" sebuah suara terdengar samar-samar dari balik selimutku. "Olly!" Ben menarik selimutku. "Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk lemah. Kepalaku pusing, aku hanya ingin istirahat. Aku ingin punya waktu bersedih tanpa diganggu siapa pun.

"Aku ingin menyerahkan ini," katanya memberikan medali kemenangan Saturn kemarin.

Aku mengambilnya ogah-ogahan dan melemparkannya begitu saja di sisi lain kasur.

Dia sudah membuka mulutnya tapi ragu-ragu untuk bicara. Namun setelah aku menyelubungi kepalaku lagi dengan selimut, dia akhirnya mengeluarkan suara, "Aku sudah dengar apa yang terjadi."

Aku bergeming.

"Alice sudah bicara dengan Lyra," katanya lagi.

Lalu aku membuka selubungku, memandangnya penuh tuntutan untuk bicara lebih lanjut.

"Dia bilang kalian putus," katanya perlahan-lahan, seolah itu akan mengurangi rasa sakitnya.

"Dia bilang begitu?"

Itu pemutusan sepihak. Teriakku dalam hati. Aku tak pernah menginginkannya. Dan aku tidak mengatakan kata 'putus'. Aku...sudahlah...mungkin ini putus sepihak atau cinta sepihak...tergantung dari sudut pandang siapa.

"Kau tahu apa yang kau butuhkan?" dia menyibakkan selimutku dengan paksa, membiarkanku terpapar oleh sinar mentari sore yang hangat.

"Lagu soundtrack patah hati," cengirnya. "Karena kita bukan cewek dan kita tidak punya ikatan batin pada cokelat, jadi kita tidak mungkin menghabiskan berpak-pak es krim dan cokelat sambil menonton opera sabun untuk pelampiasan, jadi lagu soundtrack pasti bisa menggantikannya," katanya penuh semangat.

Aku bangun dan menyambut ide konyolnya tanpa minat.

"Bagaimana dengan lagu-lagu Smiths? Jangan deh, terlalu depresi," putusnya sendiri. "The Script! Nothing!" matanya berkilat-kilat, tapi dia menggeleng, baru ingat bait pertamanya, "Am I better of dead? No no..." dia meringis.

"Semua lagu patah hati memang terdengar agak depresi dan gila," katanya pada akhirnya.

Aku tersenyum tipis, "Aku patah hati Ben, bukan gila."

"Kau terlihat gila," dia mendelik.

Aku merapikan rambutku sambil terkekeh, "Mungkin sedikit."

Lalu kami berdua tertawa. Aku bangkit dan mencuci muka, juga mengganti baju. Lalu kami berdua duduk di kursi balkon sambil menikmati udara sore.

"Kau benar-benar mencintainya ya?" tanyanya.

"Sampai rasanya mau mati," kataku tersenyum sedih."Tapi aku cuma 17 tahun, aku mungkin tak tahu artinya cinta," suaraku nyaris seperti bisikan.

"Bayi pun tahu artinya cinta, Olly. Bahkan janin di dalam rahim seorang ibu tahu apakah dia dicintai atau ditolak oleh orang tuanya. Cinta bukan soal umur. Mungkin cinta terdengar gila, aneh, tapi itu berharga. Jangan biarkan itu pergi begitu saja," katanya memandangku.

A Night Sky of LyraWhere stories live. Discover now