Bab 6

4 0 0
                                    


"Kau tidak bisa menjadi dokter, biologist, mikrobiologist, neurologist hanya gara-gara pacarmu sakit, Olly."

Kupikir kalimat ini akan kudengar dari Mama. Tapi tidak. Di luar dugaan papalah yang melontarkan kalimat itu.

"Jelas saja kau tak mengerti perasaan Oliver, mana kau tahu rasanya patah hati Alan?" geram Mamaku.

"Oliver baru di sini dua jam dan kau sudah merasa lebih baik dariku?" balas papaku sengit.

Dan begitulah mereka memulai pertengkaran mereka.

"Oke...sebaiknya aku ke kamar saja," kataku lelah

"Lihat apa yang kau lakukan!" sergah mama kepada papa.

Lalu mama memberikan secangkir teh hangat herbalnya padaku. Dia bilang ini campuran chamommile, daun-daunan herbal, ginseng, lemon, dan tak tahu apa lagi. Dia menuang bubuk demi bubuk dan dedaunan ke dalam panci dan mendidihkannya di kompor sambil bercerita panjang lebar soal membuat teh yang benar. Berusaha untuk membuatku lupa soal Lyra. Tapi sesuatu dalam jiwaku patah, dan aku menjadi rapuh dan mentah sehingga tak menanggapinya sepatah kata pun.

"Bawa tehmu ke atas. Minum dan cobalah untuk tidur Olly," katanya lembut.

Aku hanya mengangguk. Papaku meremas bahuku saat aku melewatinya.

Aku menaiki tangga yang berada di sudut antara ruang tengah dan dapur. Ruang tamu terletak paling depan dan sangat kecil. Kurasa ruangan itu ada sekedar formalitas saja.

Hanya ada dua kamar di atas. Kamar mama dan kamarku yang selama bertahun-tahun cuma menjadi kamar tamu karena aku hampir tidak pernah datang ke sini. Saat aku menangis seperti bocah lima tahun dihadapannya, mama langsung meninggalkan pekerjaannya dan mengajakku ke rumah. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun juga, dia menelepon papa.

Jendela terbuka, angin membuat tirai tipis berwarna putih berkibar-kibar. Kamarnya besar, seperti kamarku di rumah. Tidak ada interior berlebihan. Kamar ini seperti guest house atau kamar sebuah hotel. Tunggu! kecuali...Aku terperangah melihat tiga fotoku dengan mama di bufet samping tempat tidur. Ada juga dua lukisan cakar ayamku waktu kecil yang dipajangnya. Ada perasaan nostalgia yang tak dapat kugambarkan. Dan perutku terpilin oleh rasa bersalah. Mungkin mama memang berusaha.

Aku menghirup tehku sebelum merebahkan diri. Rasanya enak dan menenangkan meskipun aromanya begitu asing. Rasa lelah itu baru terasa begitu mendera saat aku menggeletakkan kepala di bantal.

Aku mencintaimu, kalimat itu kugumamkan dalam kegelapan. Sekarang tak mungkin aku mengingat kata cinta tanpa terbayang wajah Lyra yang terguncang.

Aku terbangun lepas tengah malam. Sayup-sayup suara tawa dari bawah membuatku turun. Papa dan mamaku sedang terkikik-kikik bersama-sama. Ya..ampun...ini bahkan lebih buruk dari pertengkaran mereka yang kulalui selama bertahun-tahun. Aku sempat berpikir kalau ini mimpi.

"Kau ingat pacarmu yang berambut merah itu?" tanya Mamaku.

"Jordana," kata Papaku.

"Kau ingat bagaimana dia mengira Olly perempuan..."

Lalu tawa mereka berdua meledak.

Oke. Aku tidak suka kalau aku di bawa-bawa. Ini jelas bukan mimpi. Aku melihat papaku meminum tehnya terus menerus. Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan teh herbal yang diberikan mamaku hingga papa bisa terkikik-kikik sampai memegangi perutnya. Aku hanya menggelengkan kepala dan memutuskan untuk tidur lagi. Tapi itu tidak berhasil. Lalu aku hanya tercenung sambil memandangi langit dengan hati yang patah. 

A Night Sky of LyraWhere stories live. Discover now