Bab 5

5 0 0
                                    


Kami belum bicara. Aku dan Lyra. Dia masih menghindariku di setiap kesempatan. Tapi aku tetap meletakkan cinnamon roll di mejanya dan melihat kilatan di mata cokelat terangnya saat menemukan kue itu. Dia bahkan tidak perlu memandangku untuk membuatku senang. Hari kedua dia masih merobek kartu maafku. Hari ketiga dia hanya meninggalkannya di dalam kotak kue. Hari jumat aku melihatnya memasukkannya di tas saat dia pikir aku tidak melihatnya. Aku tak dapat menyembunyikan senyum hari itu. Tidak sama sekali. Sampai Ben pun bingung melihat aku begitu bahagia. Dia bilang wajah ikan terdampar lebih cocok untukku.

Anyway, minggu ini berlangsung cepat. Aku ingin sekali mengetuk pintu rumah Lyra pagi ini dengan satu kotak besar cinnamon roll, lalu kami akan mengobrol sambil menanam strawberry, atau bunga di rumah kaca milik kakek Bob di halaman belakang. Kedengarannya seperti kegiatan pasangan yang sudah uzur, tapi pasti menyenangkan bisa duduk bersamanya meskipun aku harus melakukan hal paling membosankan seperti menanam. Tapi khayalanku yang aneh itu harus tertunda, karena aku dan Ben harus pergi ke Bandung mengejar lukisan mirip Cafe Java milik Tante Leo.

Udara pagi ini bersahabat, tapi aku tetap mengambil jaketku dan meletakkannya di mobil. Ben sudah muncul sejak jam delapan pagi. Dia memakai topi fedora berwarna krem dengan kaos putih dan celana pendek cokelat yang santai. Dia dan Alice sama-sama menyukai topi fedora, mereka memiliki berbagai jenis fedora untuk berbagai kesempatan.

*** 

Paris van Java Gallery sangat minimalis dan modern. Kami disambut oleh batu hitam mengilap yang dipahat membentuk jantung. Lukisan dan video instalasi kontemporer memenuhi dinding-dinding galeri tersebut. Kami menghabiskan empat puluh menit pertama hanya untuk berkeliling. Begitu tersedot dengan seni yang ditampilkan. Sembilan puluh persen lukisan di sini merupakan karya seniman lokal. Hanya 10 persen yang internasional. Aku cukup senang dengan fakta itu.

Kami menuju meja resepsionis untuk memperoleh keterangan soal lukisan Cafe Java itu. Yang menerima kami adalah supervisor tempat ini, seorang cowok awal tiga puluhan dengan wajah yang membosankan untuk mengelola tempat sekeren ini. Rambutnya di tata dengan jambul. Tapi kebanyakan gel hingga baunya begitu mengganggu hidung siapa saja.

"Maaf, tapi kami tidak bisa memberitahu siapa pembeli lukisan itu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk tidak memberikan identitas pembeli pada siapa pun," katanya ogah-ogahan. Dia jelas tidak memedulikan kami. Kami anak ingusan. Mana sanggup membeli satu lukisan pun dari sini?

"Mas, putra pelukis itu wafat beberapa bulan lalu dan surat wasiatnya menyatakan untuk membeli kembali lukisan tersebut, setidaknya kami harus mencoba menemui pembeli lukisan itu," Ben menjelaskan.

Namun supervisor itu mengulum bibirnya yang hendak tertawa. Aku mengernyit sinis, tak mengerti mengapa dia bersikap kurang ajar seperti itu.

"Apa ada yang lucu?" tanyaku tak dapat menahan diri.

"Maaf, hari ini kami sangat sibuk. Dan kayaknya cerita bohong seperti itu sudah agak usang bukan?"

"Kami tidak bohong! Apa tampang kami seperti pencuri sampai Anda tidak memberikan nama pembelinya?!" geramku. Sebagian orang melongok ke arah kami.

Dia mendeham sok bijaksana dan membetulkan blazer katunnya dengan gaya yang sok elegan. "Adik-adik, kalian harus pergi. Atau Saya harus panggilkan satpam."

Adik-adik?! panggilan itu membuatku mendidih.

"Anda bilang apa?!"

Ben menarik lenganku, karena wajahku pasti kelihatan ingin mencekik orang itu.

"Mungkin temanku itu harus menghantuimu nanti malam, supaya kau tahu kami tidak bohong," Ben mendesis sembari menyeretku ke pintu keluar.

"Dasar orang brengsek!" gerutuku kesal.

A Night Sky of LyraWhere stories live. Discover now