01. Adu Nasib, Berani Lawan?

108 20 14
                                    

Kalau bukan karena progam beasiswa, mereka tidak akan saling bertemu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalau bukan karena progam beasiswa, mereka tidak akan saling bertemu.

Kalau juga bukan karena warung makan Buk Tuti akan ditutup, mereka juga tidak akan saling berkenalan saking gengsi.

"Kelas kalian sudah selesai?" Tanya Dika memecah keheningan di parkiran kampus.

Mereka bertujuh pertama kali bertemu di ruangan test beasiswa. Saat itu mereka memang belum saling kenal.

Mahardika yang ambis.

Rain yang pendiam.

Jevan yang sopan dan pemalu.

Cendana yang tak tau malu.

Nanda yang dingin.

Dan dua bersaudara Lintang dan Jian yang berisik dan absurd.

Sore itu dengan kekalutan dari masalah masing-masing, mereka berkumpul di area parkir bukan untuk pulang menggunakan kendaraan masing-masing, karena Mahardika, Jevan, dan Cendana pun tidak memilikinya. Tapi untuk mencari jalan keluar yang tak kunjung ada.

Tepat setahun lalu, mereka yang kebetulan pelanggan setia warung makan Buk Tuti,  bertemu untuk kesekian kali. Hari itu Buk Tuti memberikan kabar.

"Wah, kebetulan banget lagi pada ngumpul. Kalian semua pelanggan setia di warung ibuk," Buk Tuti duduk di bangku kosong di samping Rain, kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Ada yang ibuk mau sampaikan. Besok ibuk nggak buka. Dan mulai lusa, warung ini sudah ditutup."

Cendana hampir tersedak air putih yang tengah diteguknya.

"Buk, tapi utang Ndana minggu ini belum dibayar. Memangnya ibuk mau kemana?"

Buk Tuti tau Cendana lancar berutang, tapi anak itu selalu tepat membayarnya setiap minggu karena upah sebagai asisten dosen sudah diberikan. Makanya Buk Tuti percaya-percaya saja kepadanya, tidak seperti kepada mahasiswa lain.

"Maafin ibuk Ndana. Hutangmu minggu ini ibuk lunaskan saja. Kamu sudah ibuk anggap anak sendiri kok," Buk Tuti menghela nafas berat.

"Saudara yang jaga anak ibuk minggu kemarin meninggal dunia, dan sekarang nggak ada yang jagain anak ibuk. Ibuk terpaksa harus kembali ke kampung, anak ibuk nggak ada yang temenin. Ibuk tinggal sendirian di sini saja sudah susah, apalagi mengajak anak. Bukannya lebih baik ibuk menyambung hidup di sana aja kan?" Buk Tuti menjelaskan. Aksen Jawanya masih kental walau sudah lama tinggal di Ibukota.

Sore itu, dengan sisa tenaga yang tersisa. Mereka membantu Buk Tuti menutup warungnya. Untuk pertama dan terakhir kali.

Buk Tuti heran, mereka selalu kebetulan datang bersama-sama setiap sorenya. Tapi kenapa tidak saling kenal. Sore itu mereka diminta untuk saling berkenalan, siapa lagi yang memintanya selain Buk Tuti.

Dan sore ini, mereka berkumpul dengan beban masing-masing.

Lintang dan Jian, mereka hanya ikut-ikutan.

"Gue nggak tau adik gue masih hidup atau nggaknya. Gue yakin dia masih hidup. Tapi gimana, aku nggak punya biaya," Lirih Jevan.

Bahasanya masih berantakan. Saat berkenalan ia menggunakan aku-kamu tapi karena yang lain merasa geli lalu meminta menggunakan gue-lo, dan Jevan menurutinya. Bahkan saat pertama kali melihat Cendana, ia memanggil Cendana dengan panggilan "kakak" saking sopannya.

"Orang tua gue udah nggak ada. Dan sekarang tinggal sama kakek," Mahardika mengunyah makanan ringan yang dibawanya dari kantin.

"Gue hidup di dunia sendirian," Cendana tak mau kalah.

"Bohong!" celetuk Rain. "Kata orang lo punya saudara kembar, ya maaf nih, saudara kembar yang tunanetra."

Ah, mereka seperti sedang adu nasib. Lah memang iya.

Nanda dan Rain yang ingin ikut-ikutan, sama-sama mengurungkan niatnya. Mereka selalu seperti ini. Tidak ada bersyukur-bersyukurnya.

Setiap sore saat capek-capeknya, mereka justru membuat capek diri sendiri dengan banyak mengeluh.

"Aduh! Udah gue bilang kita jangan kayak gini terus, ngeluh tiap hari. Malu tuh sama yang di atas, udah kasih kesehatan, dan kalian ngeluh hanya karena beban? Ingat, ini ujian," kata Rain menyentil jidat Cendana.

"Ya Allah, jika kemisikinan dan kekayaan adalah ujian. Maka, ujilah aku dengan kekayaan," Cendana mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a.

"Udah enak banget hidup lo pada kuliah gratis full semester. Masih aja ngeluh padahal sukses di depan mata," Nanda menunjuk Dika, Cendana dan Jevan.

"Percuma kalau makan masih susah," Cendana menimpali.

"Kami nggak kayak lo yang udah kaya sejak lahir," balas Dika.

"Gue sih sebenarnya nggak mau dilahirkan di keluarga gue," Nanda balas mendelik.

Lintang dan Jian yang sedari tadi hanya saling celingukan, bingung harus apa. Sudah biasa mereka berdebat seperti ini.

Entah untuk keberapa kali, Lintang melontarkan kalimat ajakan.

"Udah lah. Ayo makan bareng, gue traktir, bang!"

"Maaf gue sibuk," Cendana menolak.

Cendana selalu menolak jika diajak bersama-sama di atas sore hari. Bahkan sudah diiming-imingi jawaban soal pun ia enggan, ah, lagipula Cendana memang sudah pintar. Hanya saja kenapa dia selalu tidak mau makan gratis saat malam bersama teman-temannya.

"Sok sibuk banget, padahal kerjaan cuma asisten dosen," Rain menimpali.

"Lo nggak tau gue di rumah ngapain—"

"Emang ngapain?" tanya Dika.

Tuhkan! Hampir keceplosan.

"Udah ya. Gue pulang dulu, takutnya keburu maghrib," Cendana melambaikan tangan sembari keluar ke arah pagar.

Sudah satu tahun mereka berteman, Cendana adalah yang paling misterius di antara mereka. Ya, memang kelakuannya selalu membuat yang lain elus dada beristighfar.

Cendana akan menolak jika sahabatnya itu meminta untuk mendatangi rumahnya.

Dan kenapa Cendana tidak mau berkomentar tentang rumor yang menyebut bahwa ia punya seorang saudara kembar penyandang tunanetra?

"Jadi nggak?" tanya Lintang dan Jian.

"Yaudah ayok. Bosan di rumah makan hati terus," jawab Nanda.

Sore ini berakhir dengan mengeluh lagi.

hari esok akan panjang sesuai dengan seringnya kamu mengeluh. jangan contoh mereka, kalau terpesona akan ketampanannya, silakan saja.

SEVEN DREAMER || NCT DREAMWhere stories live. Discover now