⇝𝓣𝔀𝓸 🍒

1.9K 243 8
                                    

♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DURJA RUPAWAN PANDANGI JENDELA. Terhitung dua hari lamanya pikiran dibawa berat, bukan perkara dokumen menumpuk atau jadwal rapat yang kian merebak. Namun perkataan gadis itu seolah menjadi titik krusial dirinya berpikir sebegini gilanya, ditilik dua hari belakang sejak diri mengantar sang figur utama yang perlahan mengambil atensi otak wanita itu hanya mengucapkan terimakasih dengan sedikit senyum. Hal itu membuat pikirannya sekarang memikirkan hal apa yang sebenarnya terjadi beberapa tahun belakang?

Singkirkan masalah itu, kenapa juga diri tenggelam oleh sebuah perkataan yang diucapkan tempo kemarin.

Suara ketukan mengalihkan atensi pria safir, kursinya diputar sebelum jawaban izin diperbolehkan masuk keluar. Dapati sang wanita penyebab masalah pikir kini tengah berjalan menghampiri, "Presdir hari ini ada pertemuan dengan perusahaan Yixing—"

"Undur jadwalnya." Potong pria itu cepat, "Presdir tidakkah Anda menyadari bahwa dua hari ini Anda menghindari pertemuan?"

Netra saling bersitabrak, menyelami iris masing-masing namun si wanita dengan cepat memaling pada layar tabletnya. "Baiklah akan kuundur—"

"Kapan?"

"Maaf?"

Sebenarnya bibir terus ingin bungkam, bukan masalah diri yang harus terjun kedalam masalah Sekretarisnya. Tanyakan pada nuraninya yang terus dilanda rasa penasaran menggegoroti dua hari ini, berpikir bahwa dengan semua pertanyaan terlontar maka pikirannya akan tenang.

"Sejak kapan suamimu meninggal?"

Pertanyaan membawa alis perempuan itu bertaut, ia bergeming di depannya bahkan bibirnya berbentuk horizontal tipis.

Ah sial. Lagi-lagi ada keheningan diantara mereka, suasana nyenyat sepertu mencekik leher menghabiskan sisa oksigen yang dihirupnya masuk kedalam paru-paru. "Kenapa Anda ingin tahu?"

Benar, sejak kapan dirinya menjadi seperti bocah berumur dua tahun yang selalu dilanda sebuah penasaran. Gila.

"Entahlah."

Dan lagi-lagi, bibirnya pun tidak tahu alasan kenapa diri bertanya sedemikian rupa. Patut ditanyakan kemana nalarnya saat bersama gadis ini rasanya pikiran waras tersebut hilang, "Kalau begitu tidak masalah jika saya tidak menjawabnya permi—"

"Jawab saja Sekretaris [Last name] mungkin dengan begitu kepalaku tak akan pecah karena hal itu."

Si perempuan menatap apapun yang dilihatnya, menghindari dua safir mematuk meminta jawaban. Tubuh beranjak dari sana, menduduki pada sofa kulit kosong panjang dengan hela nafas keluar dari celah bibir.

Karantala berada pada wajah, masih suara senyap serta detik jam yang kian bising masuk ketelinga. "Suamiku meninggal satu tahun yang lalu," lirihnya.

Pria itu tidak bisa melihat ekspresi apa yang ditampilkan dari distansi yang seperti ini, memperhatikan bagaimana jemari itu memijit pelipis lantas mengambil nafas dalam sebelum lagi-lagi labiumnya kembali berucap, "Dia meninggal karena kecelakaan mobil yang dikendarainya saat hendak pulang kerumah kami, padahal saat itu aku dan dirinya akan merayakan natal bersama lantas memberikan kado spesial. Tapi rasanya Tuhan berkata lain."

Tetes demi tetes air asin jatuh, lagipula ia tidak bisa menghapus luka lama yang masih membekas besar pada hatinya, "Satu warsa—aku selalu mengharapkannya kembali namun aku sadar tidak ada yang namanya orang meninggal akan kembali hidup kan? Iyah aku sadar, aku gila Claude. Selalu berpikir bahwa suamiku akan berada disisiku selamanya, padahal—aku ingin mengatakan saat itu pada dirinya dia akan menjadi seorang ayah."

Safir membelalak oleh pernyataan dari bibir yang bergetar itu, bagaimana bisa ia dengan apik menyembunyikan hal pilu ini sendirian? Pria itu tidak mengerti dengan wajahnya yang kadang tak berekspresi namun saat perempuan itu tersenyum seolah dia adalah poros dari semua planet. Lalu bagaimana bisa satu manusia hawa ini menyimpan dengan kepalang baik lukanya itu? "Aku kehilangannya dan aku juga kehilangan calon buah hati kami setelah itu."

Tidak ada panggilan formalitas, dan Claude sadar bahwa perempuan ini terlalu lama menyimpan nestapanya. Mungkin jika ditilik sama halnya dengan dirinya, mengharapkan bahwa wanita itu akan kembali dari hidupnya yang bahkan ia sendiri tidak tahu apakan eksistensi itu sudah lenyap atau masihlah ada. Jika ada pun, rasanya terlalu lengkara ia akan kembali pada hidupnya.

Tak ada yang menyangka bukan? Bahwa detik ini ia memberikan sebuah afeksi pada sang gadis yang dilanda keruhnya kebahagiaan, entah kenapa rasanya—menenangkan dengan sebuah dekapan membuat Claude dibawa rasa nyaman.

Jujur dikatakan bahwa ia memang merindukannya, masih merindukannya. Mendambakan sosok yang pergi bukanlah hal gila yang hanya dirasa oleh satu orang saja, bahkan iapun merasakannya. Bagaimana sosok itu dirindukan tiap malam atau bagaimana sebuah tindakan hangat mengubah suasana hati.

Claude merindukannya. Namun dalam detik ini juga rasanya ia telah pulang, seolah menemukan sebuah jalan yang dicarinya selama lima warsa ini.

Memang terdengar gila, namun dorongan rasa hangat itu kian melebat saat dua tangan kecil sang gadis balas memeluk pinggangnya. Dilanda isak tangis nestapa kelabu serta tubuh kecil yang terus gemetar, sang poros planet itu akhirnya tumpah pertahanan juga.

"Aku merindukannya."

Surai perlahan diusap oleh karantala besar, merasakan halusnya mahkota menyentuh epidermis telapak tangan. "Bukankah aku juga bodoh karena tidak bisa menjaga calon anak kami? Dia...pasti kecewa."

Claude bergeming. Ada yang berbeda dari sebuah perasa empati semata dari tindakan yang dilayangkan pada gadis ini, rasa mengganjal perasaan asing tak ia ketahui rasanya membuat pria itu sedikit pening.

Hahhh, benar. Tidak mungkin ia salah mengira oleh sebuah rasa yang seharusnya ia sudah tahu betul.

Rengkuhan dilepas oleh si wanita, "Jadi kumohon jangan lagi untuk menanyakan perihal hidupku." Tubuhnya berdiri berjalan dengan punggung tangan menyeka kasar pelupuk mata timbulkan bekas merah perih.

Lalu bagaimana caranya? Pria itu sudah tersandung jatuh sejak netra indah menitik air asin jatuh pada pipi ranumnya.

"Presdir Saya permi—"

"Bagaimana jika sebuah perasaan jatuh cinta muncul?"

Tubuh mungilnya berhenti tepat genap langkah, berdiri stagnan di hadapan pintu dengan iris berdenyar tak serta merta berbalik untuk menanggapi pertanyaan yang terlontar.

Namun Claude pun tak hanya menyisakan nyenyat dengan melontarkan pertanyaan dipenuh taksa saja, ia pun melontarkan aksara permintaan yang membuat sang wanita disana penuh dengan lamunan dalam pikiran yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Ini terdengar bodoh, tapi aku ingin kau berada dihidupku."[]

𝐏𝐄𝐑𝐅𝐄𝐂𝐓𝐈𝐎𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang