2

25.6K 3.4K 616
                                    

Sayup-sayup pendengarannya menangkap suara yang memanggilnya. Entah suara siapa itu, matanya terlalu berat dan rapat untuk sekedar dibuka. Gelap seakan tak ingin ditinggalkan olehnya. Dengung ditelinga begitu menyiksa saat dirinya berusaha menyambut terang.

"Tuan Renjun membuka mata!" Ujar seseorang lebih mengarah pada pemberitahuan pada siapapun yang mendengarnya.

Derap langkah terdengar saling bersahutan dan semakin mendekat. Netranya terbuka perlahan, tertutup kembali saat menolak cahaya masuk secara berbondong, begitu seterusnya. Hingga beberapa saat mampu menyesuaikan diri, kelopak mata itu terbuka sempurna. Pening mendera bagai hantaman palu tak henti mengenainya. Dengan refleks yang bagus, tangannya tergerak memijat lemah kepalanya. Kerutan tak bisa dielakkan dari dahi tak seberapa luas itu.

Tenggorokannya begitu sakit saat berniat mengeluarkan suara. Hingga kembali terurung saat seorang wanita dengan pakaian pelayan menanyainya dengan sopan serta tak luput kepalanya yang menunduk.

"Tuan butuh sesuatu?" Tanyanya lemah lembut. Kerutan didahinya menandakan berapa usianya.

Ia mengangguk, dengan gerakan mulut tanpa suara ia berucap. "Air.."

Tanpa menunggu lama, salah satu pelayan -maid- mengambil satu gelas diatas meja yang memang disediakan disana. Membantu tuannya untuk menenggak sedikitnya satu tegukan guna menghalau haus serta sakit yang menggelayuti tenggorokan. Perih terasa saat air itu berhasil meberobos masuk ke dalam perutnya. Seolah asam lambungnya menolak menerima asupan air dengan suhu dingin.

"Tuang Jung datang!"

Seperti sebuah pengumuman, suara itu menyebar diseluruh penjuru hingga terdengar ke dalam ruangan luas itu melalui pintu yang sengaja dibuka lebar. Didepan pintu yang terbuat dari kayu jati dengan aksen pahatan mengagumkan terlihat banyaknya maid berjajar rapi. Ia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.

Seingatnya, ia berada dalam ruangan kamar yang mungkin hanya seperempat dari luas ruangan yang kini ditempatinya. Pernak-pernik yang biasa ia lihat ketika bangun, tidak ada lagi. Ruangan luas yang begitu mewah dengan segala fasilitasnya itu mampu membuatnya mengumpulkan berbagai pertanyaan di otak kecilnya.

Belum sempat mengeluarkan suara, derap langkah tegas terdengar memecah hening. Niatnya untuk bertanya pada salah satu maid harus diurungkan saat dengan pandangannya sendiri ia melihat seseorang menghampirinya. Tidak jelas, karena memang pandangannya masih belum bisa menyesuaikan dengan cepat.

Seorang pria berdiri tegap disamping ranjangnya. Kedua tangan yang berada dalam saku celana bahan bermerk itu memperlihatkan seberapa angkuhnya dia, ditambah tatapan tajam menghujam siapapun yang berani menatapnya terang-terangan.

"Sudah bangun rupanya," ujar orang itu menilik keadaan seseorang dengan posisi lebih rendah darinya yang bahkan masih terbaring lemah diatas tempat tidur. Tatapannya menyiratkan aura kelam yang begitu mengerikan.

Huang Renjun menatap ke arah manapun agar tak bertatapan langsung dengan mata tajam pria itu.

"Selain bisu kau juga tidak sopan rupanya," sarkas sang pria dengan aura dominan terlihat jelas. Bibirnya kembali terkatup setelah berujar, matanya masih memperhatikan Renjun tanpa henti. Memperhatikan bagaimana mata itu tak ingin menatapnya balik, berpura-pura melihat ke arah lain. Tangan yang saling memilin, entah karena gugup, takut atau memang tidak suka. Tangan mungil yang salah satunya terdapat tanda lahir dibagian punggung tangan. Kulit seputih salju yang mirip dengannya, bibir mungil serta tubuh tak kalah mungil, berbeda jauh dengan tubuh bongsornya.

"Jangan lemah, setelah ini aku tunggu kau dibawah," ujar si Tuan rumah seraya berbalik meninggalkan ruangan itu kembali dengan pandangan lurus, angkuh. Tidak ada yang berani menegurnya barang satu patah katapun. Terlalu segan dan takut bahkan untuk menatapnya sedikit saja. Mata elang itu seakan mampu menguliti siapapun yang yang dengan berani menatap tepat ke arah matanya.

DESTINY | JaeRenWhere stories live. Discover now