Bab 1. Kota Midorika, Kerajaan Bluemoon

50 9 34
                                        

Awal tahun, Kota Midorika.

Kota Midorika, kota modern yang selalu peduli dengan alam. Semuanya benar-benar ramah akan lingkungan, jarang terjadi kriminal, bahkan melanggar aturan alam. Kendaraan tidak ada yang mengeluarkan asap, tenaga mereka menggunakan listrik. Listrik yang dihasilkan dari air danau biru.

Rumah-rumah begitu terlihat rapi, begitupula dengan gang-gang. Kota ini di kelilingi oleh gunung-gunung dan kota ini mengelilingi danau. Bahkan ada yang membuat rumah di pinggiran danau, di atas air. Bahkan ada yang membuat rumah di atas pohon-pohon kuat kota ini, hidup berdampingan dengan alam, dan makhluk hidup lainnya.

Sistem penjagaan kota ini menggunakan drone yang berkeliling. Drone boleh dimiliki oleh setiap orang yang mampu membelinya karena drone ini mampu berbuat banyak hal layaknya manusia. Raja dan Ratu begitu menyayangi alam karena pengalaman mereka yang melihat begitu banyak hewan diburu dan alam yang dirusak begitu saja.

Ini tentang kota. Kota di mana setiap malam terdapat bulan biru yang menjadi lampu. Tidak ada binatang buas yang menyerang warga kota karena habitat mereka masih terjaga dengan baik. Tidak jarang ada hewan perairan lain yang masuk ke danau karena perairan mereka yang terancam.

Kota ini tidaklah kecil, bahkan sangat luas. Kerajaan mereka ada di salah satu gunung yang paling tinggi. Gunung yang dikhususkan untuk keluarga raja. Walaupun begitu, inilah hukum dunia. Di mana ada yang di atas dan di bawah, semuanya hidup berdampingan tanpa rasa sedih.

❄❄❄

Pagi hari, keluarga Tachibana.

Pagi hari itu, masih banyak kabut yang menyelimuti kota. Seorang gadis memutar-mutar tubuhnya untuk segera meninggalkan ranjangnya. Gadis dengan rambut gelombang halus berwarna ungu, mata cerah perpaduan antara ungu dan merah muda layaknya galaksi terpancar jelas. Namanya adalah Tachibana Reika.

Tangan mungilnya mulai merapikan tempat tidurnya dan berjalan menuju tirai yang menutup tempat keluar masuknya udara. Dibukanya perlahan, terlihat kota yang indah dengan lampu-lampu menyala. Langitnya masih semburat biru dan oranye dengan bulan dan matahari bersama. Samar-samar bulan seperti ingin pergi untuk tidur.

Gadis itu beranjak untuk merapikan rambutnya, begitu halus dan wangi. Rambutnya bagaikan bulu boneka baru dan aromanya bagaikan shampo baru dibuka. Setelah itu, Reika berjalan menuju tempat favoritnya.

Pintu kayu berwarna putih itu dibukanya, melangkahkan kakinya yang mungil. Setelah sampai di sana, sebuah tempat di belakang kastil. Kolam dengan dekorasi ikan-ikan, taman yang damai. Gadis itu mulai mendudukkan raganya, menyatukan dua tangannya, dan memejamkan mata begitu dalam.

Gadis itu selalu berdoa di tempat ini karena begitu menyatu dengan alam. Tubuhnya serasa di lahap oleh alam. Jiwanya tenang dan penuh kesabaran.

"Reika!" panggil seseorang yang berada di belakangnya.

Gadis yang begitu khusyuk dalam berdoa mulai melirik ke belakang. Seseorang yang begitu dikenal oleh matanya, lelaki itu berdiri dengan menyilangkan tangan. Wajahnya begitu tegas serta serius, mata bagaikan batu Ruby yang cerah, jiwa seperti rubah salju tidak mau kalah. Namanya adalah Tachibana Kai.

"Sudah waktunya, bukan? Kebiasaanmu lebih cocok jadi pendeta suci daripada seorang pemimpin," oceh laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakang sang gadis.

"Maaf, kakak."

Kai tersenyum melihat adiknya, begitu pendiam. Namun, jiwanya hangat seperti selimut. Kai mulai mengisyaratkan Reika untuk mengikuti langkah kakinya. Begitu terlihat jelas perbandingan tinggi di antara keduanya.

Kakaknya begitu gagah dan tegas, sedangkan adiknya begitu halus dan kalem. Kai mempunyai kebiasaan latihan pagi untuk menjaga tubuhnya.

Mereka berjalan menelusuri lorong demi lorong. Mempersiapkan tekad agar tidak menerima hukuman yang sama. Kai sedikit melirik wajah adiknya, di balik parasnya yang tenang mungkin terdapat kekosongan dalam pandangan mata adik perempuannya.

"Permisi."

Kedua tangan Kai yang penuh keyakinan mendorong pintu kayu berwarna coklat. Terlihat seperti ruang latihan bela diri, sederhana ala Jepang. Jauh di depan terlihat laki-laki tua yang begitu tenang, aroma kopi menjadi pengharum ruangan penuh embun.

Mata tajam lelaki itu menatap kakak beradik ini, raut wajah rubah bermata merah berubah menjadi sangat waspada. Raut wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat, lalu Kai berbisi mendekati telinga sang adik, "Lebih seriuslah hari ini! Aku tidak segan-segan untuk memakanmu, Reika."

Dengan tenang rubah merah mulai terjun dalam lapangan pertarungan itu. Gadis dengan manik kristal ini berdiam diri di tengah pintu setelah beberapa lama, ia mulai turun ke lapangan. Mereka berdua telah bersiap diposisinya, terdengar detak jantung dari jam. Hingga jam berbunyi menunjukan waktu yang pas, predator dan mangsa mulai saling mempertahankan diri.

Sang kakak mengepalkan tangannya, meluncurkan serangan. Ditahannya sekuat tenaga oleh gadis itu, terlihat raut wajah yang tenang. Namun, terlihat tenaganya tidak mampu untuk menahan.

Kuat sekali! Tanganku ..., tidak lagi bisa menahannya. Batin Reika begitu tersiksa

Kai tersenyum tipis melihat adiknya yang begitu keras kepala menahannya, ia mundur beberapa langkah dan berlari sekencang cahaya. Beberapa serangan diluncurkan bagai beribu peluru menyerang mangsanya.

Napas keduanya begitu sesak, sang adik tidak melawan. Hanya menghindar, menahan, dan menangkis. Seekor kelinci yang tidak berbekal senjata apapun.

Rubah yang ganas tidak menyerah begitu saja, berlari menerjang embun secepat cahaya. Gadis yang menjadi lawannya terlihat mengerutkan keningnya, berusaha membaca pergerakan lawannya.

Lama. Itulah kenyataannya, hingga kakak telah berada di sampingnya. Menarik tangan mungil sang gadis dan membuatnya menyatu dengan lantai.

Teriakan kesakitan sang adik dan suara bahwa lantai menerimanya membuat sang kakak begitu senang. Setelah meneguk kopi, lelaki tua yang sedari tadi menonton mulai melibatkan dirinya.

"Cukup sampai disitu, Kai."

Perintah yang ditangkap rubah merah ini membuatnya berhenti. Membantu mangsanya untuk bangun, melanjutkan permainannya lain waktu. Rubah itu tidak akan pernah puas.

Lelaki dengan mantel hangat berwarna coklat, rambut tuanya yang rapi, dan kancing mata berwarna ungu samar. Ia mulai berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekati seorang gadis dengan mahkota kepala ungu samar.

Lelaki itu berhenti tepat di samping Reika, lalu bergumam, "Sama seperti biasanya, ya?"

Pembuluh darahnya serasa begitu beku, keringat mulai bercucuran membahasi tubuhnya. Gadis itu memejamkan matanya begitu dalam.

Plak!

Satu tamparan itu semakin menjadi-jadi. Diam. Reika hanya mematung menahan sakit yang begitu membekas di tubuhnya. Setelah itu, ruangan begitu sepi. Semua pelayan pergi meninggalkan ruangan penuh saksi.

"Reika," panggil seseorang yang tepat berada di sebelahnya. Tanpa menatap dan membalas, Reika hanya diam. Seseorang yang sedari tadi menunggu jawabannya pun berpindah ke hadapannya.

"Apa kamu yakin akan terus seperti ini? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Kai, kedua tangannya menyentuh pundak sang adik.

"Ya, aku baik-baik saja," balas Reika lirih. Gadis itu mulai mendongakkan wajahnya, tersenyum dengan penuh derai air mata.

Ya, aku baik-baik saja. Aku tetaplah aku.


Jangan lupa vote dan komentar nya!
Selamat membaca kembali ^-^

The Miracle : Dead or AliveWhere stories live. Discover now