O1

133 24 4
                                    

Tubuhnya gemetar, rasa sakit dari cambukan yang baru saja di dapatkan berusaha ia abaikan. Tangan penuh darah dan luka itu meraba-raba tembok kusam di sampingnya. Langkah kakinya semakin melambat, namun ia tak bisa berhenti. Dia harus lari. Jauh dari kota ini.

Wajah penuh dengan kotoran tanah tak lagi ia pedulikan. Tidak peduli apa yang orang-orang pikirkan, yang terpenting hanya satu.. Pergi.

"T-tolong.." lirihnya.

Sayangnya mereka yang mendengar pura-pura tuli dan buta. Mereka lebih memilih berjalan menghindar, menyumbat hidung mereka, serta memandang jijik padanya yang penuh luka dan kotoran.

Tak taukah mereka, disini seseorang butuh pertolongan. Tetapi mereka malah bersikap acuh, menepis tangan anak lelaki kotor yang ingin menggapai tangan mereka.

Anak lelaki itu tak menyerah, ia berjalan tertatih, berusaha meminta tolong pada setiap orang yang ia temui di jalan. Hanya untuk menyembunyikannya.

Tangan kotornya hendak meraih tangan pemuda ber jas hitam yang tengah duduk di halte bus. "T-tuan tolong.."

Namun bukan uluran tangan yang ia dapatkan, melainkan tepisan kasar serta dorongan dari pemuda itu.

"Hei! Kau mengotori jas ku. Apa kau gila?! Gelandangan sepertimu seharusnya tidak berkeliaran disini. Bahkan kepalamu saja tidak bisa mengganti jas mahalku!" marahnya.

Pemuda itu meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya. Perih. Banyak orang yang memandangnya, tapi bukan pandangan kasihan. Melainkan raut menuduh, mengejek, serta menghina dan merendahkan yang ia dapat.

Baju compang-camping, bau tanah lumpur yang kotor, siapa yang tidak jijik?

Ia bangkit berdiri, berjalan tertatih kembali. Sesekali menoleh ke belakang demi menghindar dari kejaran atau apapun. Ia ketakutan.

Kakinya tak mampu lagi untuk berdiri, ia dengan paksa menyeret kedua kakinya ke sebuah pohon di taman yang sepi. Meringkuk menenggelamkan kepalanya di lekukan lututnya sambil terisak.

Cukup lama ia menangis. Mengutuk apapun dan siapapun yang membuat takdirnya seperti ini. Mengapa harus dirinya? Setiap goresan luka yang ada di tubuhnya membuat ia merasakan perih dan sakit yang tak tertahan. Disaat seperti ini, ia hanya ingin mati.

"Hei."

Panggilan itu membuatnya mendongak. Sosok pria bersetelan hitam formal, bertubuh tinggi.. Serta.. Berwajah tampan. Sangat tampan.

Dan yang paling ia perhatikan adalah uluran tangan di depannya. Pria bersetelan itu mengulurkan tangan padanya. Apa dia tidak jijik padanya? Hampir saja pemuda kotor itu menggapai tangan besar di hadapannya. Kalau ia tidak segera sadar, memangnya siapa dirinya? Ia takut mengotori tangan pria dihadapannya dengan tangan kotor penuh lukanya.

Anehnya, pria itu justru tersenyum tulus padanya. "Apa kau butuh bantuan?"

Yang ditanya menjawab dengan mengangguk ragu.

"Jika begitu.. Aku akan membantumu." tawarnya.

"B—bagaimana caranya? A-apa tuan tidak j-jijik padaku?"

"Untuk apa aku jijik? Bukankah segerombolan manusia disana lebih menjijikan?" Tunjuknya pada orang-orang yang tadi menghina pemuda kotor itu. "Kau mau membalaskan dendammu dan selamat?"

Pemuda itu mengangguk kuat. Ya.. Dia ingin.

"Kalau begitu.. Kau harus membayarku."

Anak lelaki itu tertegun, "T-tapi, a-aku tidak punya apa-apa." ucapnya cemas.

Pria didepannya tertawa dengan suara baritone nya, "Aku tidak ingin uang.."

"L-lalu?"

"Pertama-tama, siapa namamu?" Pria itu berjongkok di depannya, memandang intens tepat di iris mata orang yang ia ajak bicara.

Hellevator - [MilNyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang