27. Keputusan

93 12 1
                                    

Aku telah bersiap dengan resiko yang mungkin kita tidak akan bertemu lagi.
🌸

Hampir tengah malam, sekitar pukul sebelas lewat. Cowok bersurai coklat itu sudah selesai menyalin pakaian. Kaus maroon yang dikenakannya dibalut jaket usang yang setiap hari selalu ia pakai. Khususnya di jam kerja.

“Ati-ati, Sob.”

Sebuah pesan singkat dari rekan kerjanya mengiringi langkah lebar Makki. Ia keluar dari mini market seraya melambai pamitan.

Di depan, Makki langsung menuju ke tempat sepeda bututnya terparkir. Percaya, benda pudar yang terlampau tua itu masih aman damai. Tak ada yang mau melirik sepeda macam barang rongsokan itu. Dari jajaran motor metic di area tersebut, ia sendiri yang masih asik menggoes pedal pulang-pergi.

Tidak ada yang salah dengan itu semua. Makki sedikit pun tak peduli akan pandangan orang lain. Wajar dan bukan sebuah aib besar yang perlu ia tutupi hanya karena keadaan susah melekat padanya. Lelaki itu sudah terbiasa menjalani hari-hari dengan begitu sederhana, dan apa adanya. Toh ia tidak menjadi gelandangan dan mengemis miris. Banting tulang adalah bagian dari sedikit usaha untuk bertahan melewati masa sulit.

Biarpun langit semakin gelap gulita. Kota itu tak pernah tidur, justru semakin malam pancaran bola-bola lampu menyala di penjuru jalan. Seakan mengganti siang dengan cahaya lain. Dengan mengayuh pedal sepeda, ia membelah jalanan yang berselimut hawa dingin dan deru kendaraan.

Makki mengeratkan tangan pada setang besi dan mempercepat laju sepeda. Badan pegalnya butuh istirahat, juga pikiran yang seharian terus terjaga.

Sekitar sepuluh menit berkendara, akhirnya Makki sampai di rumah. Buru-buru ia menyandarkan sepeda ke sisi dinding di samping halaman. Lalu, berderap masuk. Sebagian penghuni sudah terlelap, hanya menyisahkan beberapa makhluk. Ia sedikit terperanjat ketika Bu Minah telah berdiri di balik pintu utama.

“Ibu …,” ucap Makki sedikit terlonjak, “belum tidur?”

“Makki, itu.”

“Kenapa?”

Makki merasa tak beres dengan tampang Bu Minah. Biasanya wanita baya itu sudah tidur lantaran Makki membawa kunci serep saat pulang kerja. Namun, wajah wanita dengan kerudung biru telur tersebut masih segar. Dia menyeret Makki ke ruang tengah, menunjukkan sesuatu.

“Ada apa sih, Bu?”

Mengikuti telunjuk yang mengarah ke sofa ruang tengah, netra Makki membola lebar. Ia mengerjap sesaat guna memastikan bahwa apa yang dilihatnya adalah benar. Bagaimana bisa, dan sosok itu nyata terbaring di atas sofa.

Hati Makki mencelos. Dihujani banyak kemungkinan dan pikiran lain, bercampur bersamaan menyerbu rasa kepo di kepalanya. Sudah terlalu larut dan menuntut jawaban pada gadis itu. Kelelahan sekejap hilang bersama tarikan senyum tipis di bibir Makki. Setidaknya, Zinni benar-benar berlari kepadanya demi mengandalkan Makki atas kemelut yang tengah cewek itu hadapi.

“Zinni,” lirih Makki mendekati cewek yang tengah terlelap. Tangan Makki terjulur menyentuh mata sembab itu, lalu beralih menatap Bu Minah.

Karena paham jika ada segudang pertanyaan di kepala Makki. Bu Minah langsung membeberkan duduk peristiwa yang membawa Zinni sampai di sana. Sembari mendengar segala penuturan dari ibunya, Makki dengan perlahan mengangkat Zinni dalam gendongannya bersama selimut yang membungkus cewek itu. Pelan, sebisa mungkin tak membuat gerakan yang dapat membangunkan Zinni. Meski dia sedikit menggeliat kecil di bawah rengkuhan ketika Makki membawanya ke dalam kamar. 

Bu Minah tak sampai hati untuk membangunkan Zinni. Jadi, sejak tahu anak itu tertidur di sana, beliau membiarkan dan cuma menyelimutinya saja. Walaupun Zinni tidak gemuk, tetap saja rasanya buat ukuran wanita baya seperti Bu Minah tidak mungkin menggendong cewek itu. Sehingga ibu memilih menunggu Makki pulang.

ZINNIA ✔Where stories live. Discover now