22. Penyesalan

122 11 1
                                    

Aku hanya tak mau merasa sakit, jika terus berada di dekatmu.
🌸

Selain kepalanya yang berdenyut nyeri, dunia Geren ikut berputar. Berlawanan dengan arah jalan yang ia mau. Sejak masih dalam ukuran seorang bocah yang tak tahu bagaimana berbicara lancar. Ia paling mengerti tentang keinginannya yang tertahan karena kehadiran bintang lain dalam hidupnya.

Jangan katakan ia teramat jahat, hanya karena bibirnya sulit berhenti mengumpat. Orang bisa dikatakan baik, bukan cuma sekadar rupa bukan? Bahkan kamu akan tahu, jika preman terseram yang kamu jumpai pun tidak benar-benar jahat. Tampilan, sekali lagi hanya kamuflase dari diri seorang sebagai identitas pembeda.

Barusan, ia berlaku kasar pada adiknya. Tetapi itu bentuk pelampiasan Geren karena amarah yang mengggumpal dalam keirian. Ia telah menjelma menjadi remaja angkuh dan sifat keras, banyak orang lain membenarkannya. Bahkan ia sendiri juga sadar bahwa dirinya patutu dibenci. Lalu, bagaimana dengan orang yang telah membantu sifat tersebut tumbuh dalam diri Geren selama ini.

Terkulai lemah di atas kasur king size, ia bersandar pada kepala ranjang dengan netra lurus memandang kaca di seberangnya. Dengan tangan terkepal kuat, cowok itu belum bisa melupakan rentetan kejadian yang pernah diukir bersama Zinni. Dari masa kecil hingga kejadian yang begitu membekas di fisik juga batinnya.

Jangan katakan Geren kuat. Memang ia lelaki, tetapi sisi manusia lah yang patut untuk digaris bawahi bahwa Geren terkadang juga lemah. Spontan rahangnya mengeras, raut masam kentara di wajah dinginnya.

"Kakak, aku boleh manggil Kakak kan, Ma?"

"Iya, Sayang. Sekarang main sama Kakak, ya," pinta Ike pada kedua anaknya. Ditaruh telapak
tangan Ike ke atas kepala Geren dan Zinni, sambil mengelus bersamaan. "Geren, jaga Zinni, ya. Kalian main yang akur."

Mama tersenyum begitu lebar, begitupun Zinni. Gadis dengan dress biru tanpa lengan itu menyeringai terus menatap ceria pada Geren. lain halnya dengan cowok itu, Geren mengernyit sampai sudut bibirnya terangkat.

"Mama ke dalem dulu ya, Sayang. Jangan jauh-jauh mainnya." Ike berpesan dan langsung masuk ke dalam rumah. Membiarkan bocah ompong itu bersama Geren.

"Kenapa kamu liatin aku terus?"

Geren risih dan menatapnya tajam. Alih-alih takut, cewek itu terkekeh. Menganggap apa yang ada di hadapannya sesuatu yang lucu.

"Ayo, main, Kak," ajak Zinni lalu membalik badan dan berjongkok membelakangi. Sedang Geren masih mematung di tempat, menunggu apa yang dilakukan bocah itu. "Ini buat Kakak. Kita tiup lilin ya."

"Huwahh!" Geren terpekik kaget, dan langsung menepis gudukan tanah yang Zinni sodorkan padanya. Sampai kue yang dimaksud itu berserakan di tanah. "Jorok! Itu ada cacingnya."

Tanpa sadar aksi Geren membuat Zinni menangis histeris. Mainan yang susah payah dibuatnya rusak begitu saja. "Kakak, jahat! Mama ...."

Tak lama wanita itu datang dan menyeret kursi rodanya. Kepanikan tercetak di wajahnya, "Kakak, kamu apain Zinni?"

"Ak-"

"Diem, ya. Mama di sini, Sayang." Ike menggendong bocak cengeng itu dan menenangkannya. Lantas Geren tak mau diam saja.

"Mama. Aku benci dia!"

"Geren, kamu nggak boleh bilang begitu."

Di balik tangis yang Geren duga adalah bentuk pura-pura, ia bisa tahu jika Zinni menyeringai ke arahnya. Geren tak tahu bagaimana anak itu bisa menjadi bagian dari keluarganya. Tak seorangpun menjelaskan. Mau tidak mau, ia harus terima bahwa memang fakta mutlak itulah yang terjadi.

ZINNIA ✔Where stories live. Discover now