16. Jangan diam

89 10 3
                                    

Sampai kapan suara itu bungkam, walau seribu belati menghujam.
🌸

Melupakan sejenak pada prahara pelik. Ia butuh rehat, meski hanya hitungan detik. Rasanya ada hal lain yang perlu dilakukan dari pada terus larut dalam nelangsa tak berujung. Mungkin, jika mau dirinya ingin langsung bertandang ke sana. Pada ruang kelas di gedung utama. Tidak tahu berapa lama Zinni berdiri di tepi lapangan, memicingkan mata intens menyorot pada bagunan di hadapannya.

Sebelum ini, ia tak pernah berlaku begitu. Zinni sedang gelisah juga ragu. Jika bisa dan abai terhadap kebimbangan, gadis itu ingin menyeret tungkainya menaiki anak tangga. Berdiri di depan seorang yang telah kabur beberapa hari dan menyisakan luka batin. Baginya sudah biasa, tetapi untuk mama itu seperti cemeti mengiris uluh hati.

Tidak bisakah kakaknya mengerti barang sedikit saja. Kalau yang dia lakukan semakin menambah beban Zinni.

Apa memang Zinni tidak seberguna ini, terus berpikir tanpa hasil dan menunggu semua selesai. Ada sekitar lima menit ia mematung di tempat sambil menengadahkan kepala. Bukan untuk melihat mentari, apalagi rembulan di siang bolong. Melainkan menunggu sosok Geren muncul dari dalam kelas. Setidaknya bayangan lelaki itu bisa dilihatnya hari ini, guna memastikan bahwa dia baik. Cukup sehat hingga bisa sekolah, walau Zinni yakin hati kakaknya juga terluka.

Zinnia bukan gadis pemberani atau lebih tepat disebut pengecut, juga biang masalah. Salah siapa rentetan kejadian terulang lagi kalau bukan karenanya. Berapa kali pun, ia mengutuk sendiri hidupnya. Tidak ada yang berubah.

Apa takdir bisa dihindari? Lalu apa memang ia sebaiknya menghilang dari lembaran kehidupan seorang Geren sejak awal?

Desah napas berhawa kecewa keluar dari bibir mungilnya. Pegangan erat bersemayam di tali tas yang menggantung semakin ketat kala jemarinya menguat. Seketika binar berpendar di manik hitamnya, semakin melebar seiring pergerakan siswa yang dinanti keluar.

Geren muncul di ambang pintu kelas bersama Sandi juga beberapa anak lain. Seperti terpanggil dari intuisi Zinni, pandangan mereka bertemu. Meski samar, Zinni tahu jika kakaknya masih marah. Mimik wajah yang biasa Zinni lihat saat mereka bersinggungan tak bisa ditampik. Ia sangat hapal dengan itu.

Mendadak hilang semua hal yang sudah Zinni siapkan kala bertemu Geren. Pikirannya kosong. Hanya karena tatapan mengintimidasi dari Geren, ia ciut kehilangan jiwa. Entah bagaimana atmosfer di sekelilingnya berubah secepat kilat.

Ah, ia lupa bahwa kelemahannya inilah yang perlu diingat!

“Hai, Zin. Mau balik ba ….”

Kalimat Sandi menggantung di udara, sama seperti perasaan Zinni. Cowok berambut ikal itu tampak bingung. Terlebih saat melihat Geren tak bersuara dan terus melangkahkan kaki melewati Zinni begitu saja. Mungkin, Sandi berpikiran satu hal ‘woi ada orang di sini, dia bukan patung.’

“Bon! Buru-buru amat, ini Zinni … Bon?”

Teriakan Sandi seperti tak bertuan. Geren tak menyahut, seakan menulikan telinga. Hingga menyisahan kerutan di dahi Sandi.

“Eh Zin, sabar yak. Batu emang dia tuh,” sindir Sandi menunjuk Geren yang semakin menjauh. “Tenang aja. Dia tidur tempat gue kok. Kalo ada apa-apa gua kabarin dah. Duluan ya.”

Cowok itu lebih pengertian dibanding sang kakak, kemudian Sandi berderap pergi seraya menepuk bahu Zinni untuk menyemangati.

Samar, pandangan Zinni belum beralih mengiringi siluet terakhir Geren yang menghilang di balik kerumunan siswa-siswi.

Well. Kita ketemu lagi,” kata cewek bertubuh langsing yang tiba-tiba berdiri di dekatnya. “Nggak usah ngeliatin dia segitunya deh, nyebelin.”

ZINNIA ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu