2. Terselip Rindu

442 66 515
                                    

Bersama aroma petrikor, senja, dan kamu.

🌸

“Terima kasih,” ucap Makki pada seorang yang  sudah berbaik hati meminjamkan topinya. Sebab siswa tersebut sakit dan memilih melipir ke UKS sebelum jam upacara dimulai. Jadilah, Makki terbebas dari hukuman.

Kehokian rupanya masih berpihak pada cowok bernama Runako Makki. Ia selalu yakin jika kebaikan akan mendapatkan balasan yang baik pula. Seperti kerelaannya membantu Zinni pagi tadi.

Naluri selalu bertindak tanpa diminta, seakan melekat dan membuat Makki bertindak bak pahlawan. Ia tidak berharap banyak selain bisa meringankan masalah. Terkhusus hal yang berkaitan dengan Zinni. Cowok itu sering menjadi yang terdepan dalam menangkal kesusahan.

Di kelas menjelang jam istirahat, Makki memandangi punggung Zinni yang duduk di depannya. Pak Bimo, guru matematika sudah ke luar dua menit  lalu. Meninggalkan kelas sebelum pelajaran benar-benar berakhir.

“Ki, Makki?”

“Iya, Zin. Kenapa?” Makki balik bertanya. Setengah sadar dari lamunan. Terlihat dari netranya yang mengerjap sesaat.

“Ih mikirin apa sih sampe bengong gitu,” sindir Zinni dengan alis bertaut, “udah bel, Ki. Kamu gak mau ke kantin? Nanti telat.”

“Iya, Zin. Ayo keburu rame.”

Lantas Makki langsung memberesi bukunya dan bangkit ke luar kelas bersama Zinni, menuju kantin sekolah.

Setiap jam istirahat Makki banyak menghabiskan waktu di kantin. Tempat teramai di sekolah saat jam makan siang. Keberadaannya bukanlah sekadar makan santai seperti murid-murid lain. Ada sebuah beban dan tanggung jawab bagi remaja seusia Makki, yakni bekerja di samping kehidupannya sebagai seorang pelajar. Makki yang memang sebatang kara, mampu menjadi sosok mandiri di banding kebanyakan anak lainnya. Selain itu, ia juga bekerja paruh waktu pada malam hari. Demi menambah pemasukan uang saku.

Meskipun ia merupakan salah satu siswa peraih beasiswa di Bunga Bangsa, nyatanya tak membuat Makki asik berpangku tangan semata. Malah ia justru memanfaatkan segala peluang  dengan baik dan berusaha untuk menanggung kesulitan tersebut.

Saat di lantai dasar, tepatnya di lobi utama. Dalam kepala Zinni terlintas sebuah ide nyeleneh.

“Balapan yok, Ki. Siapa yang kalah harus nurut sama yang menang,” seru Zinni dan mengambil start duluan. “Kalo kamu menang, itu gak berlaku buat aku.”

“Curang itu. Zin!”

Makki mulai berlari menyusul Zinni.

Perjanjian macam apa itu? Menang kalah Makki yang dirugikan.

Sontak keduanya menjadi bahan tontonan murid-murid di sekitarnya. Kelakuan mereka seperti anak kecil kurang bahagia, saling beradu langkah. Baik Zinni juga Makki tak peduli sama sekali akan tatapan para murid yang melempar sindiran. Mereka terus melanjutkan balapan.

Zinni mengerahkan tenaga maksimal supaya menang. Dan tanpa sadar, Makki sudah berada di sampingnya. Berlari santai sengaja menjajarkan diri dengan Zinni.

“Hoo! Jangan kenceng-kenceng, Ki,” ujar Zinni tidak ingin disalip.

Tanpa diminta pun Makki tidak berniat memenangkan balapan konyol tersebut. Ia hanya senang meladeni tingkah Zinni yang terkadang kekanakan.

“Yey! Aku menang, blew,” sorak Zinni begitu menginjakkan kakinya di kantin seraya menjulurkan lidah, “kapan-kapan aku tagih loh.” Sedangkan Makki cuma menanggapi dengan gelengan kepala. Lalu melipir ke tempat kerjanya.

ZINNIA ✔Where stories live. Discover now