#11 Again

270 11 0
                                    

Tak seperti biasa, kursi di ruang makan keluarga Anton tidak penuh kali ini.  Untuk hari ini hingga seminggu ke depan, kursi Papa memang akan kosong. Beliau mendapat mandat untuk study banding ke perusahaan kelapa sawit di Kalimantan, kalau kata Mama. Sesekali Anton melirik ke arah Kakaknya. Pemuda itu memang terus saja sibuk pada sarapannya, tapi entah mengapa, Anton merasa aneh. Seperti ada sesuatu lain yang Kak Usman pikirkan terlihat dari cara Kak Usman memandang benda-benda yang ada di hadapannya.

Anton memasukkan sendok ke dalam mulut, terus saja menerka-nerka segala sesuatu yang terjadi pada Kakaknya. Bukan apa-apa, sih... hanya saja Kak Usman jadi sering diam, tak sejahil biasanya. Dan tentu saja, tak bisa tidak, bahwa Anton merindukan ocehan dan kejahilannya.

“Kamu kenapa sih, Bang?” tanya Mama yang ternyata sudah terlebih dahulu menegur. Kak Usman tampak gelagapan. Terlihat ia kembali mengaduk-aduk sarapannya.

“Enggak kok, Ma,” jawab Kak Usman sambil tersenyum tipis.

“Nggak usah bohong, deh! Aku tadi juga liat loohh!” timpal Anton sambil terkekeh pelan.

Terlihat Kak Usman menghela napas. Ia seperti ingin berujar, tetapi masih berat seakan ragu. Diletakkannya sendok kemudian meraih air putih yang telah tersedia. Setelah meminumnya satu tegukkan, ia memandang ke arah Anton dan Mama yang tampak sedang menunggu.

“Masalah kerjaan, Mah,” kata Kak Usman akhirnya.

“Kirain... masalah sama Kak Zulfa!” celetuk Anton yang tampak tak membuat Kak Usman bereaksi. Pemuda hampir mirip dengan Anton itu tetap termenung, malah tak menghabisan sarapan yang masih seperempat bagian.

“Atasanmu lagi?” tanya Mama menerka. Kak Usman langsung mengangguk pelan. Wanita beraut tenang itu tampak menghela napas. Hanya Anton yang melongo tak mengerti.

“Dia emang nggak beres, deh. Nafsu banget sama resolusinya. Masak ya mau curang gitu, ngajak-ngajak Usman. Bisa-bisa digolok sama bos, lah!” terang Kak Usman yang membuat kedua orang di hadapannya berkerut kening, “Parahnya... Usman juga sedikit terancam sekarang gara-gara dia. Mau ikut dia, terancam, mau patuh sama jalan yang bener apalagi.”

“Jadi...,” ujar Mama agak tersentak.

“Entar aja deh, Ma,” kata Kak Usman seakan ingin menyampaikan sesuatu tapi ada seseorang yang membuatnya ragu. Anton langsung manyun begitu Kak Usman hendak menyembunyikan masalahnya pada Anton.

Oke, deal! Kamu udah nggak prend lagi, Kak? Terserah, deh. Ini kemauan Kakak!” seru Anton yang kemudian bangkit dari tempat duduknya. Dengan wajah (sok) kesal, ia raih tas punggungnya dan dengan segera ia sampirkan. Kak Usman dan Mama hanya bisa tertawa kecil melihatnya.

Setelah bersalaman dengan Mama dan Kak Usman, Anton segera keluar berangkat ke sekolah. Meskipun ia tak bisa untuk tidak-penasaran pada perkara yang melanda Kakaknya, tapi sudah lah, ia pasti akan tahu suatu saat nanti.

Kini Anton benar-benar pergi bersama motornya, meninggalkan Mama dan Kak Usman yang sedang berbicara serius di ruang makan. Terlihat Kak Usman sedikit frustasi, tetap menggumamkan bibirnya menceritakan apa pun yang menyebabkan ia termenung akhir-akhir ini. Bu Ira tampak prihatin, sesekali menggigit bibir, dan tambah ternganga saat Kak Usman menceritakan pokok masalah yang paling puncak. Cerita yang membuat sang pencerita saja sampai bergetar suaranya. Seakan masalah yang ia hadapi memang begitu rumit, menyangkut hidup dan mati. Mama tak percaya. Anak laki-lakinya yang paling tabah itu berkaca-kaca?

***

Setelah memastikan bahwa jilbab, baju, dan seluruh pakaiannya rapi, Virza melangkah keluar dari kamar. Dengan pelan ia menutup pintu kamarnya dan mulai bergegas untuk berangkat ke sekolah.

Forgetting YouWhere stories live. Discover now