#10 Semoga Jadi Lebih Baik

244 11 0
                                    

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Juna menggerakkan tangannya untuk mengetuk pintu rumah yang ia yakini sebagai rumah yang ia tuju. Sambil mengetuk, ia pun akhirnya berucap, “Assalamu ‘alaykuum!”

Tak ada jawaban. Juna menggigit bibir, bersiap untuk mengetuk lagi.

“HAHH!?” seru seseorang yang membuatnya mengurungkan diri untuk mengetuk pintu lagi.  Juna menoleh ke sumber suara. Dapat ia lihat, Anton berdiri kaget dengan rambut acak-acakkan mengenakan sarung hijau kotak-kotaknya. Kaos polos hitam juga tertempel di badan tegapnya.

“Ka... kamu-kamu-kamu...,” ujar Anton menganga mendapati Juna berdiri di depan pintu rumah Riana. Juna hanya memandangnya tanpa ekspresi, “Kamu sampai sini, Jun?”

“Hn.”

Mendengar sahutan Juna yang singkat Anton langsung tergelak. Dengan tanpa beban, ia tertawa selepas mungkin.

“Apaan, sih!” sahut Juna dengan muka datar.

“Bahh... aku nggak nyangka aja... Ikhwan Candra Arjuna sekarang jadi dingin dan rese!” cetus Anton seraya mendekat pada Juna, duduk di lincak serambi rumah Riana.

“Emang buruk, ya?” tanya Juna kemudian.

“Emm.. tergantung, sih!” jawab Anton yang membuat Juna menarik bibirnya lurus, “Betewe kamu ngapain ke sini?”

“Apa aku harus jawab?” tanya Juna masih dengan ekspresi dingin.

“Ohh... Riana nggak di rumah, kalik!” kata Anton yang membuat kuping Juna berjengit.

“Tapi di rumah sakit udah nggak ada,” timpal Juna seraya ikut duduk di lincak, memandangi Anton heran.

“Ohh... jadi, di mana dong?” tanya Anton yang membuat Juna melengos, “Oiya... dia kan pindah rumah sakit.”

“Heh?”

“Iya, iya... aku baru inget!” sambung Anton yang membuat Juna memfokuskan perhatian, “RSU Jogja kali, ya? Soalnya kalau di Panembahan Senopati nggak ada yang nungguin. Tempat PKL kakaknya kan deket RSU tuh, biar nggak ribet.”

Jawaban Anton membuat Juna mengangguk-anggukan kepala. Tanpa ia ketahui, Anton menyeringai jahil.

“Kenapa, sih? Aku kepo, deh!” ujar Anton yang membuat Juna berkerut dahi.

“Cuma mau silarutahmi,” jawab Juna yang membuat Anton meletuskan tawa.

“Kenapa aku goblok banget ya, Ton?”

Mendengar kalimat Juna yang terakhir, tawa Anton terhenti. Ia pandang Juna –yang sekarang tampil dengan gaya yang jauh berbeda. Ia rapi, tak seperti jauh-jauh hari. Rambutnya ditata sedemikian rupa mengimitasi rambut gaya anak muda masa kini. Anton jadi terkikik sendiri. Mirip boyband, euy. Tak seperti biasa yang setiap hari memakai kaos, Juna mengenakan kemeja abu-abu yang ia padu dengan jeans berwarna hitam. Anton menghela nafas begitu teringat pertanyaan Juna yang terakhir. Mata pemuda di sampingnya memandangi pelataran gersang di depannya dengan pikiran campur aduk. Wajahnya tampak tertekuk payah.

“Yah... setiap orang itu pasti ada masa-masa jaya sama masa-masa suram. Mungkin kamu bisa bahagia kelas sebelas kemarin. Punya temen-temen solid kayak Ambalan, kemenangan tim-mu di provinsi kemaren, padahal sekolah kita nggak pernah sekali pun lolos di tingkat kecamatan, juga... kamu bahagia kan bisa dapetin Wenda?” ujar Anton yang membut Juna semakin  menghela, “Tapi ya itu tadi... orang itu nggak bisa kalau selalu di atas. Dan mungkin... kamu sekarang lagi mengalami masa-masa sulit itu, deh. Ambil sisi positif-nya aja, lah... mungkin Allah lagi mau lihat, pantes nggak sih seorang Juna nerima semua yang udah Dia berikan tempo dulu?”

Kata-kata Anton benar-benar membuat Juna agak tersentil. Bahkan seujung kuku pun ia tak pernah memikirkan ini. Memikirkan Tuhan lebih tepatnya. Anton sendiri juga heran dengan dirinya... kenapa dia jadi kayak Alex?

“Iya, sih... itu emang bener. Dan kayaknya, aku emang nggak pantes dapetin semua itu. Allah terlalu pemurah deh sama aku. Padahal aku kan nggak pernah peduliin Dia... payah banget!!” sahut Juna yang tak lama kemudian menoleh pada Anton dengan bibir tersenyum simpul, “Thanks, ya... aku jadi ngrasa bersyukur ketemu kamu pagi ini.”

“Elah... santai aja, kalik. Bukannya kamu jadi nggak ketemu Riana?” tanya Anton yang membuat Juna tertawa kecil.

“Iya, sih. Tapi aku udah dapetin tujuan dan apa yang aku butuhin, kok,” kata Juna seraya memandang ke halaman lagi, “Tujuanku ke sini ya untuk memperbaiki keadaan. Memperbaiki perasaanku yang resah, yang akhir-akhir ini ngebuat aku nggak konsen belajar. Mungkin, memastikan kalau Riana udah nggak bermasalah adalah jalan yang tepat. Dan ternyata... jalan ketenangan perasaanku itu ada di kamu, Ton. Makasih. Aku rasa, nggak perlu ragu lagi buat nitipin Riana ke kamu.”

Penjelasan Juna membuat Anton tergelak.

“Aku titip Riana ke kamu, ya?” ulang Juna kemudian.

“Siiiaaaap!!”

Tawa Juna juga ikut meletus, ia sedikit lega, berharap bahwa Anton memang paham apa maksudnya. Tak ada yang tahu –bahkan Juna pun tak tahu, bahwa Anton mengintrepretasi perkataan Juna dengan arti lain. Ia anggap maksud Juna adalah menjaga Riana, seperti yang dia lakukan selama ini, sebagaimana pesan Kak Zulfa dan orangtuanya. Tapi sayangnya Juna harapkan lebih. ‘Menitipkan’ dalam artian menyuruhnya untuk menjalani hubungan dua makhluk Tuhan yang serius lebih tepatnya.

***

Suara piring dan sendok yang beradu membuat kesenyapan di ruang makan sedikit terkurangi. Sepanjang sarapan ini, Virza terus saja memperhatikan Imam yang tak juga bergerak. Tatapannya sama seperti jauh-jauh hari, masih kosong. Bahkan hingga Virza dan Mama-nya telah menghabiskan makan paginya, sarapan Imam tak juga berkurang sedikit pun. Virza meneguk air minumnya. Setelah selesai, ia dan Mama-nya saling berpandangan. Kembali menatap pemuda yang kini memakai kaos oblong yang agak kedodoran dengan prihatin.

“Nak Imam makan dong...,” pinta Bu Sara lembut.

Namun Imam tak juga merubah keadaan dirinya, membuat Virza hanya sanggup menghela nafas dalam.

Selama tiga hari ini, Imam memang tinggal di rumah Virza untuk sementara, dan selama tiga hari itu juga guru piket bolak-balik ke kelas Virza untuk memanggil Imam. Tak ada orang yang berhasil guru itu bawa, karena Imam, jelas-jelas tak berangkat sekolah. Walau Imam tak juga mau bercerita, Virza sudah sedikit tahu dan paham tentang masalah Imam. Setelah tahu bahwa Alex adalah tempat curhatan anak-anak yang dekat dengannya, ia mulai bertanya-tanya. Saat ini, yang tahu bahwa Imam ada di rumahnya hanyalah ia sendiri dan Alex. Mungkin orangtua Imam sedang ribut mencarinya sekarang. Tapi sudahlah, kasihan Imam juga. Ujung-ujungnya, mungkin setelah ketemu orangtuanya, mereka malah akan ribut lagi.

“Mam... kamu jangan gini terus, dong. Kalau mau lupain semua secara total, yaudah lupain, jangan membuat dirimu sendiri justru terkesan nggak bisa ninggalin masalahmu. Ayo dong semangat! Minggu depan kan kita try out! Udah dilancarin sama sekolah kan urusan kita keluar negeri. Udah dibantu banyak... tinggal kita usaha, berdoa, dan nunggu hasilnya!” jelas Virza dengan semangat berkobar-kobar. Bu sara tersenyum mengiyakan, “Buktiin ke orangtuamu... bahwa kamu bisa hebat!”

Entah kekuatan apa yang membuat Imam menggerakkan kepalanya, melepaskan tatapan kosongnya ke arah Virza. Perlahan tapi pasti, Imam tersenyum tipis. Virza dan Bu Sara tampak senang melihatnya.

Setelah menghela napas berat, Imam meraih sendok, mulai menyentuh sarapan paginya walau tak semangat. Mulutnya masih saja bisu semenjak tiga hari yang lalu.

“Gitu dong... aku kan seneng kalau Imam bisa ketawa lagi... bisa semangat lagi!” tambah Virza yang membuat Imam memandanginya sambil tertawa kecil.

“Makasih ya, Vir... Tante!” ucap Imam pelan, namun mampu membuat dua orang di hadapannya berteriak senang. Imam berhenti mengunyah, melihat dua pasang Ibu-anak itu dengan tatapan aneh. Bahkan hanya melihat perkembangannya pun, mereka sampai sebahagia ini. Jika saja keluarganya sepeduli ini...?

***

                                                                                                                              

Forgetting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang