#5 Pilihan?

581 18 2
                                    

“Udah deh Vir... pikiran-pikiran yang ganggu elo itu disingkirin!!” seru Imam pada Virza yang semenjak belajar ini cenderung melamun. Virza menggerakkan kepalanya, memandangi pensil mekanik hijau –yang semenjak tadi hanya digunakan untuk menggesekkan coretan tidak penting.

“Sampai sekarang pun aku belum bisa bedain mana yang ganggu, mana yang mendukung, Mam!” sahut Virza sambil melipat sikunya –menyatukkannya dengan tangan yang lain.

Imam menghela, menggerakkan kakinya yang kesemutan karena terlalu lama duduk lesehan.

“Hah... terserah elo, deh. Gue cuma ngingetin,” kata Imam menyerah, “Lo nggak ngrasa payah setelah ditinggal Ami sama Devi? Lo nggak ngiri sama mereka?!”

Virza terdiam sesaat. Disedotnya selang yang menjuntai –yang menghubungkan mulut dan gelas berisi orange juice di atas mejanya.

Benar, sebenarnya ia merasa (sangat) payah jika memandang dua sahabatnya itu.

Beberapa bulan yang lalu, kedua siswi pintar itu pergi, terbang ke negeri super power untuk menunaikan program AFS. Mereka memang hebat, mengorbankan satu tahunnya di SMA untuk mengikuti pertukaran pelajar, merasakan bagaimana pendidikan di Amerika. Setelah satu tahun itu habis, mereka juga harus kembali ke SMA semula, menjalani kelas dua belas –tidak lagi bersama angkatan 015 tetapi bersama adik kelas. Virza pun tak habis pikir, dua siswa-siswa hebat itu temannya sendiri? Teman perjuangan dan kawan-kawan dekatnya?

“Iya, Mam. Aku cukup tahu, kok,” jawab Virza dengan nada berat, “Makasih udah mau motivasi aku. Kayaknya aku emang nggak jago banget soal menejemen. Baik itu waktu, aktivitas dan juga... perasaan.”

Virza akhirnya mengembangkan senyum –membuat kedua matanya hampir tak terlihat oleh pandangan. Imam hanya sanggup mengangguk seraya tersenyum menyemangati. Rambut jabriknya bergerak, tangannya meraih buku beserta alat tulis yang tersebar di atas meja dengan cepat.

“Oke, bukan apa-apa, sih,” jawab Imam seraya mengemasi barang-barangnya, “Hari ini kita udahan aja, ya. Udah dua jam lebih.”

Virza mengerling ke arah jam yang menggantung di dinding warung makan.

Ampun, udah hampir jam empat! Ia lupa sesuatu.

“Oke, deh. Makasih banget ya, Mim,” ucap Virza ikut berkemas-kemas.

Mim’, panggilan khas kesayangan–yang diciptakan teman-teman Ambalan untuk Imam.

Imam tak menjawab, sibuk memperbaiki posisi tas di tubuhnya –yang memang terbilang proporsional. Mereka berdua akhirnya melangkah meninggalkan bangunan yang sebagian besar terbangun dari bambu –yang sekarang menyisakan dua orang lelaki-perempuan yang sedang asyik bercengkerama di sudut ruangan. Kebetulan warung makan itu sepi. Benar saja karena posisinya tidak terlalu strategis.

“Kamu mau sekalian aku anter?” tanya Imam sambil meraih helm yang terkemas rapi di atas moge-nya.

“Enggak, aku mau nemuin Mamaku dulu ke Festival Jajanan,” sahut Virza seraya sedikit merapikan seragamnya.

“Okelah... hati-hati, ya!” ucap Imam seraya memakai helm hitam menyebabkan sebagian mukanya tertutupi. Virza tertawa kecil.

Dilihat Imam emang keren dengan atribut yang seperti itu. Tapi imeg-nya yang terlalu error membuat kekerenannya itu terhalangi dan terlupakan.

Bibir Virza menyunggingkan senyum untuk yang terakhir kali saat Imam benar-benar hilang dari penglihatannya. Ia mulai melangkah –membuat rok abu-abu panjangnya menimbulkan suara desakan. Posisi tas birunya sedikit ia benahi lalu mengenakkan posisi kakinya di sepatu nike putih –yang baru beberapa hari lalu dibeli secara eksklusif oleh ibunya. Kenapa eksklusif? Karena selama ini Virza selalu membeli apa pun yang ia inginkan dengan uangnya sendiri. Sedangkan kemarin, ia bebas memilih dan meminta apa pun sesuka hatinya dengan uang Mama?

Forgetting YouWhere stories live. Discover now