#4 Envious

539 15 2
                                    

Perlahan, Anton mendaratkan helm ke kepalanya. Ia menoleh saat tiba-tiba suara hentakkan terdengar dari arah belakang. Terlihat di teras rumahnya, Riana nyengir, meminta maaf karena gangguan yang baru saja ia timbulkan. Riana meraih kaus kakinya, tampak bersiap untuk berangkat ke sekolah.

“Bareng aku yuk, Ri!” ajak Anton begitu saja.

Riana mengangkat kepalanya, memandang Anton yang tersenyum yakin.

“Duluan aja!” sahut Riana seraya membalas senyum Anton, “Nanti lama kalo nungguin aku.”

“Halah, cuma tinggal make sepatu doang, kan?” tanya Anton membujuk.

“Iya, sih,” jawab Riana setuju walau sedikit ragu. Setelah selesai menali sepatu, Riana kembali memandangi Anton yang tampak menunggu.“Tapi... beneran nggak apa-apa, nih?” tanya Riana mulai luluh.

“Ya nggak apa-apa. Emang kenapa, sih!? Lagian... kita rumahnya deket, nggak pernah berangkat bareng.”

Riana hanya nyengir, melangkah ke dalam, kemudian keluar lagi dengan helm bawaan honda milik kakaknya. Setelah menutup pintu, ia bergegas cepat untuk membonceng di belakang Anton.

“Cieee.... cie...!! Berangkat bareng ciyeee!!” seru seseorang dari dalam rumah Anton.

“Brisik!” sahut Anton tanpa menoleh. Tanpa peduli, ia menyalakan mesin motornya.

“Waaa... kamu mau ngingkarin perjanjian kita?” tanya Kak Usman seraya duduk di kursi depan rumah, hendak mengenakan sepatunya.

“Tenang aja kalik, Kak... Bawel amat!” seru Anton yang kemudian membuat tawa dua bersaudara itu pecah. Riana diam tak mengerti.

Motor berwarna hitam-merah milik Anton akhirnya melaju meninggalkan pelataran rumahnya, meninggalkan Kak Usman yang terus saja cengengesan. Iya, baru kali ini mereka berangkat sekolah sama-sama. Padahal sudah tiga tahun mereka memiliki satu tujuan.

Bukan, bukan! Tujuh tahun sebenarnya. Tapi kalau pulang bareng sih, itu sering.

Setelah sekian lama menempuh perjalanan –dua puluh kilo panjangnya– dengan diam, akhirnya mereka sampai di SMA. Saat Riana mendarat turun dari motor Anton, tak ayal berpasang-pasang mata di parkiran memandangi mereka. Namun tatapan mereka biasa, seakan memaklumi, bahwa dua orang itu sudah terlalu sering dilihat kedekatannya. Riana jadi tak enak sendiri. Padahal, dia dan Anton sama sekali tidak ada apa-apa. Hanya teman –atau bisa juga kerabat– biasa. Tidak lebih! Tidak seperti yang para penyebar gosip itu bilang. Mereka berlebihan!

“Makasih ya, Ton! Aku bisa duluan nggak?” ujar Riana pada Anton yang sedang akan mencabut kunci motornya.

“Bareng aja kenapa, sih?” sahut Anton yang membuat Riana tampak menghela, “Kita kan searah.”

“Aku nggak enak aja terlalu sering dikasak-kusuk gini,” ujar Riana mengaku. Mata Anton berbinar tak percaya, ia pandang Riana dengan wajah terperangah.

“Masalah itu? Jangan dipikiran lah... mereka juga nggak serius kalik!” kata Anton menghibur.

Walau pada akhirnya ia mengikuti langkah Anton dan berjalan beriringan dengannya, rasa tak enak hati Riana tak juga enyah. Saat keluar dari area parkir, Riana tambah tersentak. Sebentar lagi dia akan dilihat oleh seorang gadis yang sedang tersenyum, sedang melambaikan tangannya pada mobil biru yang saat ini tinggal landas dari depan gerbang sekolah.

Perkiraan Riana tepat. Sebentar kemudian Virza membalikkan badannya, menyaksikan Riana sedang berjalan di samping Anton. Tampak dengan jelas bahwa Virza sangat terperanjat. Riana hanya bisa tersenyum kaku. Gadis dihadapannya itu pun tampak berusaha tersenyum --yang tanpa diselidik pun jelas terlihat sangat dipaksakan. Ia melambai ke arah mereka berdua.

Forgetting YouWhere stories live. Discover now