#7 Salahkah?

356 16 3
                                    

Dengan cepat, ia melangkah menuruni tangga. Ia lirik dua manusia di meja makan dengan tatapan remeh. Saat tahu bahwa mereka sedang dalam kondisi yang tidak mengenakkan, Imam langsung menghindar, hengkang untuk segera berangkat tanpa sedikit pun peduli bahwa kedua orang itu memandanginya penuh murka.

“Kamu nggak sarapan, Mam!!?” seru suara cempreng dari dalam rumah.

“Nggak... makasih!!” sahut Imam seraya melangkah keluar. Ia langsung menyalakan mesin motornya yang sudah keluar dari garasi, lalu segera meninggalkan rumah, memacu ban motornya dengan kecepatan tinggi.

Tunggu...

Tapi.. saat ini dia merasa... lapar!

Dia belum dapat uang saku. Lalu bagaimana ia akan makan nanti?

Balik? Nggak mungkin, lah. Nggak laki banget dong gue. Menjilat air liur sendiri cuma pengen minta uang saku!? Enggak mungkin.

Whaaattt...!!? Bensinnya limit!

Imam mengerang frustasi mendapati jarum merah fuelmeter motornya benar-benar berada di batas sekarat.

Gue harus gimana, Pret!?

***

Thanks ya, Vir... elo emang penyelamat hidup gue!” ujar Imam seraya melangkah meninggalkan area parkir. Di sampingnya, Virza tersenyum sesekali tertawa.

“Okelah... nggak masalah. Sering-sering deh nyamperin aku!” terang Virza yang membuat Imam tersenyum najong.

Setelah mengobrak-abrik sarapan keluarga Virza, Imam pun menodong Virza untuk mengganti uang bensin. Lagian kan di rumah Virza cuma ada dia dan Mama-nya. Rugi dong kalau makanan sebanyak itu terpaksa nggak habis, kata Imam meyakinkan diri.

Saat mereka melangkah di sepanjang koridor kelas, seorang pemuda keluar dari kelasnya secara tiba-tiba. Mereka sedikit tersentak. Namun kemudian saling menertawai satu sama lain.

“Kok...? Kalian...? Kalian kok jadi lengket gitu?” ujar Anton pada dua orang yang berhenti di depan kelasnya.

“Lengket? Lu pikir lem?!” sahut Imam yang membuat tawa mereka meletus, “Emang kenapa, nih? Ente... cemburu, ya?” ujar Imam dengan mata menyidik.

Mendadak lidah Anton terasa kelu.

“Ngapain?! Pinter berkilah, deh!” seru Anton yang kemudian menoyor Imam. Virza terkikik, namun hanya bertahan sebentar. Padahal ia sangat berharap Anton menjawab iya.

“Oiya... gimana kondisi Riana?” tanya Virza mengalihkan fokus.

“Alhamdulillah, lumayan mendingan daripada kemarin,” jawab Anton yang membuat kedua temannya memiaskan muka prihatin.

“Sakit apa jadinya?” tanya Imam ikut nimbrung.

“Tipes, Mam. Yah... komplikasi juga, sih!” sahut Anton yang membuat dua orang di depannya mengangguk-anggukkan kepala.

“Turut prihatin, ya... dari kemarin nggak sempet jenguk. Kapan ya bisa?” tanya Virza –tak tahu ditujukan pada siapa.

“Nanti?” tawar Imam seraya menoleh pada Virza.

“Bisa!” sahut Virza sumringah.

“Kamu juga bisa kan, Ton?!” ujar Imam menyodok siku Anton.

“Bisa, sih...,” jawab Anton agak ragu, “Tapii....”

“Halah... nggak usah sok sibuk. Lumayan kan, sekalian modus! Lu nanti bisa bawa Virza pulang,” kata Imam berbisik ke telinga Anton.

“Gembel!! Maksudmu apaan?!!” seru Anton yang membuat tubuh Imam respon bergerak menghindari timpukan Anton. Virza tak paham, memandangi mereka dengan alis bertaut.

Forgetting YouWhere stories live. Discover now