#14 Karena Aku Peduli

205 11 0
                                    

Virza dan Imam baru sampai di rumah tiga jam setelah mereka memutuskan pulang dari perpusda. Niatnya mau pulang, tapi Imam justru tidak membawa motor Virza ke rumahnya. Ia justru mengajak Virza berputar arah menuju pusat kota. Mulanya Virza marah-marah sepanjang perjalanan, pasalnya hari sudah menjelang maghrib. Namun demi menyenangkan Imam sekali-kali, ia turut juga. Tiga jam mereka habiskan nonton dan berkeliling sekitar pusat perbelanjaan. Mereka pulang tidak membawa apa-apa, hanya senang.

"Sori ya, Vir. Kayaknya aku harus minta maaf sama Mama-mu, deh," kata Imam begitu mereka hendak memasuki rumah.

Virza terkikik."Enggak apa-apa, Mam. Sekali-kali," sahutnya.

Baru saja Imam melangkahkan kakinya masuk, ia sudah dibuat membatu oleh apa yang ia lihat. Tampak bahwa Ibu Virza sedang berbincang dengan seorang laki-laki —yang tak ingin Imam lihat lagi— di ruang tamu. Senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya, padam seketika.

Melihat perubahan itu, Virza ikut tercenung. Melihat Imam berusaha menghindari tatapan si tamu, Virza paham siapa dia. Terlihat dengan cepat Imam bergegas dan berjalan menuju tangga. Namun lelaki itu juga bergerak cepat, tampak berusaha menahan Imam.

"Imaaamm...," panggil lelaki berkemeja dan berdasi seraya mengejar putranya. Imam tak juga peduli. Ia tetap memacu langkah kakinya menaiki anak tangga. "Imaaamm!" panggil sang ayah geram, kali ini mencengkeram tangan Imam kuat. Merasa tidak suka, Imam menarik tangannya dan menatap Suhendra dengan tajam.

"Mau apa lo? Belum puas nyakitin gue?" Imam mulai ambil suara, membuat orang dihadapannya mengepulkan asap kemurkaan. Tangan lelaki itu mengepal, rahangnya menegas. Tak sampai sedetik, telapak tangan kanannya berhasil mendarat di wajah Imam dengan kasar. Melihat adegan itu, Virza ternganga dan segera menaiki tangga, tak sedikit pun takut untuk mendekat ke pertikaian itu.

"Berani kamu sama Ayah bilang gitu?? Kamu udah keterlaluaann!!" seru Suhendra seraya mencengkeram kerah putranya hendak menyeret sang anak.

"Om... Om!!" seru Virza cemas berusaha menghentikan kekerasan yang tersaji di depan matanya. Namun tak henti-hentinya Suhendra bersikeras menyeret Imam, membuat Virza tak tahan dan secara otomatis memajukan tangan. Sedangkan Ibu Sarah justru menggigit bibir. Memandangi putrinya yang berusaha melerai dengan khawatir. "Oomm!!"

"Virzaaaa!!" Ibu Sara menjerit saat tubuh putrinya itu terhempas ke teralis tangga. Orang yang menghempas tercenung, ikut mengaga tak percaya karena tak menyangka bahwa kekuatannya terlalu besar untuk sekadar menghindari campur tangan Virza. Kecelakaan itu tak dapat dihindari. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Virza sudah mencapai lantai dasar. Tergelinding di sembilan anak tangga membuat gadis itu tak sadarkan diri. Bu Sara menjerit, air matanya sudah membanjir dan segera memeluk putrinya erat.

Pemuda yang masih berseragam SMA itu mendengus benci kepada Suhendra. Ia segera turun dengan emosi tertahan. "Lo emang sukanya buat masalah!!"

Dengan cekatan Imam mengangkat tubuh Virza, diikuti Ibu Sara dibelakangnya. Tangis wanita itu sudah pecah, sementara laki-laki berkemeja di atas tangga masih saja mematung, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.

***

Peluh begitu deras membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal, ia ingin menyerah, tapi nuraninya tak membiarkan. Permasalahan dunia kerjanya kini telah mencapai titik klimaks. Belum puas iri, dengki, dan cemburu itu memusuhinya, sekarang, mereka inginkan lebih. Namun bagaimana pun, ia tak akan pernah membiarkan kelakuan picik itu mengontrol dirinya. Sudah banyak ia berhutang budi pada pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan sekarang, mungkin atasan yang menginginkan jatuhnya Pak Lana sudah tak akan membiarkan Usman bebas dalam keadaan hidup. Demi keadilan, ia tak mau menyerah.

Terlihat bayangan dua orang berbadan kekar yang semenjak tadi mengejarnya semakin dekat. Pemuda berkemeja coklat itu segera berlari, mengendap-endap, dan begitu berhati-hati dalam melangkah. Ia tak mau preman-preman bayaran itu menangkap bahkan membunuhnya dalam keadaan yang seperti ini. Ia tilik ponselnya, sekarang satu-satunya harapan terbesar yang ia miliki hanya pada dia.

Baru saja ia ingin menghela napas, tubuhnya sudah dibuat kaku oleh suara tawa seseorang yang tidak ia sadari sudah berdiri di sampingnya.

"Hahah... jangan coba-coba mempermainkan kami lagi!!" seru lelaki berkaos hitam seraya menggeret tangan Usman kasar. Dengan sigap Usman berusaha berlari, tapi cengkeraman lelaki itu terlalu kuat. Usman menunduk sesaat. Dengan lincah kakinya memancat dan berputar, melakukan gerakan salto dan berhasil menindih lelaki itu. Cepat-cepat Usman berlari. Baru saja ia berhasil keluar dari persembunyian, sebuah mobil jeep meraung-raung. Lampunya menyala terang, menyilaukan matanya, membuat ia hanya bisa pasrah karena tiba-tiba, kakinya terasa lesu untuk berlari lagi.

Dari kejauhan tampak seorang pengemudi sepeda motor menyalip si mobil dan berhenti tepat di depan Usman. Semangat Usman terbit lagi. Segera ia naik ke atas jok dan memeluk adiknya kuat.

"Love you banget, Ton!" ucap Usman gemas.

"Nyebelin! Makanya kalau ada masalah bagi-bagi. Kalau tadi Kakak mati gimana!?" gertak Anton peduli. Kak Usman hanya terekekeh. Terlihat di depan sana, dua orang berbadan kekar yang tadi Usman hindari siap menghadang. Dengan lincah Anton berbalik arah, tapi telat karena mobil jeep itu sudah dekat di belakang. Kedua lelaki itu berlari mendekat, Anton memilih arah melawan dua orang itu. Mereka tak sedikit pun gentar meski Anton telah memacu motornya dengan kencang.

"Kamu bisa kalau kamu yakin," ucap Kak Usman semakin mengeratkan pegangan kepada Anton. Sebenarnya Anton yakin, hanya saja ia tak sanggup. Maka ketika menghindari dua orang itu motornya oleng. Area itu tak cukup luas untuk bisa digunakan jumping. Jatuhlah kedua Kakak beradik itu, terperosok ke semak-semak. Tempat itu jauh dari pemukiman, jadi, tidak ada yang bisa mendengar keributan semacam ini.

"Sori Kak, aku nggak yakin," ucap Anton seraya berusaha berdiri.

"Lupain...," kata Kak Usman seraya menepuk bahu Anton, menyuruhnya bersiap. Tak ada pilihan lain kecuali menghadapi dan melawan. "Tetep pake helmmu, biar rumusnya nggak pada rontok!"

"Kampret!" umpat Anton kesal, ia tak suka bercanda pada keadaan yang segenting ini. Tangannya kemudian mengepal, menatap dua orang laki-laki itu tanpa gentar. Ini saatnya ia mengaplikasikan apa yang selama ini ia pelajari bertahun-tahun. Untuk orang yang ia cintai, ia tak mau predikat juara nasional itu hanya sekadar perolehan semata hanya karena tak sanggup melindungi mereka. Terlihat Kak Usman bugar kembali. Kedua Kakak-beradik itu pasang kuda-kuda saat kedua preman itu berlari menyergap.

Terjadilah adegan adu tonjok dan banting-membanting. Helm di kepala Anton cukup membantu, bahkan menguntungkannya. Ia yakin bahwa ia tak mungkin dikalahkan oleh preman kelas teri seperti mereka. Semangat yang sama ketika ia berambisi untuk memperoleh medali emas itu kini hadir kembali, membuat energinya membara luar biasa. Usman dapat merasakan ambisi itu lewat tatapan Anton yang menajam.

Pertarungan itu hanya bertahan delapan menit karena sang jawara pencak silat nasional berhasil menjengkangkan laki-laki terakhir sampai membuatnya bertekuk lutut. Terdengar mobil jeep kembali meraung-raung dan mendekat. Baru saja Anton hendak menoleh, robot beroda itu sudah ada di hadapannya. Ia menghantam tubuh Anton tanpa ampun. Usman yang semenjak tadi sudah kehabisan daya, menganga melihat kejadian yang sangat singkat itu. Demi melihat kondisi adiknya, kaki ia paksa untuk berlari menuju tempat Anton terjatuh.

"Antooonnn...!"

Mobil jeep hitam dengan cepat berputar arah dan meninggalkan mereka berdua. Usman menatap plat mobil itu dengan benci.

"Anton...," panggil Kak Usman tersengal. Dilepasnya helm yang masih lekat di kepala Anton. Tampak bahwa pemuda itu berusaha menahan rasa sakit yang meliputi tubuhnya. Hantaman itu cukup kuat hingga membuat Anton terpelanting sepanjang enam meter. "Maafin, Kakak!" ucap Usman tanpa sadar menitihkan air mata. Dengan segera, ia mengeluarkan ponsel dan memutar nomor seseorang.

"Zulfa?"

***

a/n :

tinggal beberapa bab lagi, mungkin cerita ini akan selesai. terlalu tergesa-gesa? tidak juga. bahkan kurasa ini kuulur2 dan sedikit apa ya? membosankan? XD

Forgetting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang