Rain of Fire

397 18 8
                                    

Elizabeth berusaha menelan ludahnya sendiri. Yang benar saja. Dia merasa tidak asing lagi mendengar nama itu. Lecter.  Anak ini adalah anak dari Lecter, pria yang ditemuinya saat masih berada dalam penjara. Elizabeth yakin. Perutnya tiba-tiba terasa bergejolak. Bagaimana dia mengatakannya pada Lilly. Anak itu sudah cukup menderita.  “Aku tahu ayahmu,”. Elizabeh diam sebentar untuk mencari kata-kata yang tepat. “Dia... dia berada di tempat yang nyaman sekarang,”

“Apa maksudmu?” tanya Lilly. Pandangannya merendahkan Elizabeth.

“Aku tahu ayahmu. Selku bersebelahan dengan selnya,” Elizabeth merasa canggung untuk mengakuinya. Dia tidak ingin teringat masa-masa menyakitkan itu. Hanya dengan mengatakannya saja dia merasa pusing.  Bau darah yang mengumpul di ruangan itu, gelap dan dingin. Rintih kesakitan para penghuni sel menjadi suara satu-satunya yang menggema di ruangan itu.

“Apa yang terjadi dengannya?” tanya Lilly. Elizabeth sudah siap dengan pertanyaan itu.

“Dia akhirnya menemukan tempat yang nyaman. Diamenyuruhku untuk menemukan putrinya dan mengatakan kepadanya bahwa dia tidak apa-apa dan semua akan baik-baik saja,”.

Lilly sepertinya sudah menduga jawab yang akan diberika Elizabeth. Dia tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. “Siapa yang membunuhnya?”

“Mereka. Orang-orang itu,”. Elizabeth mendesah pelan. “Lilly aku percaya padamu. Begitu juga dengan ayahmu. Kumohon jangan lakukan hal bodoh yang dapat membahayakan nyawamu,”

Lilly terduduk seperti sudah tidak dapat lagi menahan berat badannya sendiri. Dia bersandar di daun pintu rumahnya dan terduduk begitu saja. Pandangannya kosong. Air matanya tidak keluar lagi. Saat-saat seperti ini akhirnya terjadi, pikir Lilly. Hari demi hari telah dilaluinya tanpa ayahnya maupun orang lain yang mau membantunya. Dia sudah menjalani hari-harinya dengan tegar dan berusaha agar tetap ceria. Namun setelah kabar duka tersebut terdengar, satu persatu kenangannya akan ayahnya kembali menghantuinya. Andai saja orang-orang ini tidak datang. Andai saja Elizabeth tidak mengatakannya dia pasti akan dapat melalui hari-harinya seperti biasa. Dia hampir saja melupakan ayahnya.

Elizabeth duduk dengan melipat kakinya lalu memeluk lututnya sendiri. Pier dan Arthur tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Saat itu juga keadaan menjadi hening. Tidak ada yang berani mengatakan sepatah katapun. Elizabeth terlihat sedang berpikir keras. Banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Pernah sekali dia mengeluh karena hidupnya terlalu membosankan dan dia berharap agar hidupnya seperti di film-film, banyak kejadian menegangkan dimana tokoh utamanya adalah satu-satunya orang yang bertahan hidup, ditemani dengan kekasihnya yang tampan dan pemberani. Namun semuanya berbeda. Peristiwa yang dialaminya penuh dengan emosi yang menggetarkan hatinya. Elizabeth ingin menangis tapi dia tidak bisa. Tidak disaat seperti ini. Jantungnya berdebar terlalu cepat.

##

Dinginnya hari itu menusuk tulang orang-orang yang ada disitu yang masih terus melakukan kegiatan rutinnya masing-masing. Mereka tidak terganggu seakan-akan kulit kulit mereka dilapisi oleh kain wol yang tebal walaupun sebenarnya mereka serasa ingin mati merasakan dinginnya udara saat itu. Di lain tempat Elizabeth dan orang-orang yang ada disana masih tidak bergeming sama sekali.

“Kapan kalian akan pergi dari sini?” tanya Lilly kepada Elizabeth dan kawan-kawannya yang lain.

“Kami akan pergi sampai kau mau memaafkan kami dan percaya kalau bukan kami yang melakukannya,” jawab Elizabeth. Dia tidak akan pergi sampai segalanya benar-benar terselesaikan sehingga nanti dia bisa tidur dengan tenang.

Lilly bangkit dengan tidak bertenaga. Dia memandangi orang-orang yang ada di depannya itu satu-persatu lalu masuk ke dalam gubuk kecilnya. Menutup pintu lalu menguncinya rapat-rapat. Sudah cukup baginya. Dia tidak ingin mendengar sepatah katapun dari mereka. Jujur dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelahnya. Lilly mengambil sebuah apel yang baru pagi dipetiknya di meja kecil dekat ranjangnya. Satu gigitan kecil membuat Lilly sedikit lebih tenang. Dia memejamkan matanya untuk menikmati rasa manis dari apel itu, lalu menghirup aromanya dengan hati-hati. Sekejap Lilly melupakan kejadian yang tadi. Dia mulai membuka matanya perlahan, meletakkan apel itu dan berdiri seakan-akan dia baru saja mendapatkan tenaga dari apel itu. Dia berjalan menuju pintu rumahnya, membukanya dan melihat orang-orang Voldore itu masih berada disana. Dia berjalan melewati mereka, menembus semak-semak menuju ke suatu tempat. Mereka akan membayarnya, dia pikir. Tidak ada hal lain yang ada di kepalanya kecuali menerkam leher mereka dan mencabut kepala mereka dari tubuhnya. Llilly dapat merasakan tangannya bergetar. Dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Apakah ini yang orang-orang sejenisnya rasakan ketika mereka sedang marah? Sesuatu didalam dirinya memberontak ingin keluar. Lilly dapat mendengar teriakan-teriakan Arthur dan kedua orang yang tidak diingat namanya memanggil nama Lilly sambil berlari mengejarnya. Lilly telah mengenal hutan ini lebih lama dari orang-orang Voldore. Dia dapat mengetahu tempat dimana orang-orang Voldore biasanya berada.

The Book [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang