Bahagia?

5K 320 41
                                    

Benny mengedarkan pandangan matanya menyusuri setiap ornamen-ornamen lokal di depan rumah tetangganya yang hanya berjarak sekira tiga meter dari tempatnya duduk. Tampak lalu lalang anak-anak berseragam putih merah yang juga melewati tempatnya duduk dengan sesekali menyapanya sebagai sebuah kearifan lokal dan budaya masyarakat Indonesia--sopan santun.

Lalu saat bayi yang masih anteng di tangannya itu mulai bergerak tidak nyaman, entah karena panas matahari yang sudah terik mengganggu tidurnya, atau karena lantunan sholawat yang ia ucapkan sedari tadi berhenti karena sapaan anak-anak yang melewatinya tadi, ia pun mencium pipi sang bayi penuh kasih sayang sembari berkata, "Sayang, sayang. Panas ya, Nak? Shuttsss shutsss..."

Benny berbincang seolah bayi berusia beberapa minggu itu mengerti akan ucapannya. Ia lalu berdiri seraya merapatkan kembali gendongan yang sempat melorot karena Alea--cucu yang juga anak Fira itu tak ada hentinya untuk kembali bergerak tidak nyaman.

"Haus ya, Nak? Sebentar ya, Mbah Kung panggilkan Mama," ucap Benny seraya tersenyum senang. Pada akhirnya ia memang harus menyerah akan tingkah Alea yang haus sehingga mulai tidak nyaman dengan gendongannya. Lalu tanpa bersusah payah beranjak dari teras rumah yang hanya mempunyai lebar setengah meter itu, Benny berteriak, "Fira! Alea haus!"

Tak sampai dua menit, gadis, ah ralat, wanita dengan daster batik bermotif mega mendung itu berjalan tergopoh dengan keningnya yang basah karena peluh. Fira. Ya, gadis Benny yang kini bertransformasi menjadi seorang ibu itu meski tampak lelah mengurus anaknya sendiri, namun tak pernah ada keluhan yang keluar dari bibir mungilnya. Ia akan selalu tersenyum manakala Alea membutuhkannya.

Benny mengurai kain jarik yang membebat Alea dan memberikannya pada Fira. Lalu dengan satu gerakan cepat, Alea yang bertubuh mungil namun sudah menampakkan perubahan berat badannya yang mulai bertambah itu berpindah dari tangan Benny ke dekapan Fira.

"Sabar sayang," Fira terkekeh saat Alea sibuk mencari puting susunya sementara daster yang dikenakan Fira belum sempat ia lepaskan.

"Ayah sudah sarapan?" tanya Fira mengalihkan pandangannya menatap Benny yang masih tersenyum melihat pergerakan cucu pertamanya tengah menyusu padanya. Tampak guratan kebahagiaan terpancar jelas di wajah keriputnya itu hingga menampilkan lipatan-lipatan kecil di sudut mata dan bibirnya.

Ada kelegaan dalam diri Fira melihat semangat hidup Benny meningkat sejak kelahiran Alea. Meski Ayahnya itu harus kehilangan segalanya, setidaknya Alea menjadi satu-satunya cahaya di dalam kegelapan kehidupan Benny dan keluarga. Bayi mungil dengan kulit putih yang kontras dengan warna kulit Fira yang memang sedikit gelap itu seolah menjadi satu-satunya alasan Benny bertahan di saat keluarganya kembali merasakan titik terendah dalam hidup.

Mata Fira menerawang. Ia masih teringat dengan jelas bagaimana keluarganya yang hancur berantakan mencoba berjalan dengan langkah tertatih. Melupakan Meisye, menjual aset satu-satunya milik Benny dan berakhir mendapatkan rumah di dalam perkampungan padat penduduk dengan luas tak lebih dari 50 meter persegi.

Rumah yang pada akhirnya di dapatkan Benny dengan harga yang sesuai dengan seluruh hasil penjualan rumah Meisye setelah sebelumnya dipotong untuk bagian mantan istrinya itu menjadi satu-satunya tempat yang melindungi keluarga Benny dari panas teriknya matahari dan dinginnya guyuran hujan. Ah, Meisye. Bagaimana kabar wanita itu? Bisik Fira dalam hati.

Perjuangannya saat melahirkan Alea membuat hatinya seakan trenyuh dengan sendirinya. Sudut hati terkecil Fira sudah memaafkan wanita yang juga berjuang melahirkannya ke dunia hingga ia bisa bernapas seperti sekarang. Meski sebagian besar hatinya yang lain masih belum bisa menerima kembali wanita itu, namun setidaknya ia sudah melupakan saat wanita yang berstatus ibunya secara aliran darah itu memfitnah dan mempermalukannya di depan anggota keluarganya yang lain. Hingga kini pun Fira tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang ibu yang melahirkan anaknya dengan susah payah, dengan taruhan nyawa mengeluarkan seorang bayi dari rahimnya, tega menyakiti anak kandungnya sendiri? Apakah ia tidak mengingat perjuangannya itu, atau justru memang hatinya telah mati dan tertutupi oleh nafsu yang menggelora di dalam dadanya? Entahlah.

(Un)Happy Family [Completed]Where stories live. Discover now