TPP

2.1K 151 19
                                    

Benny merasa jantungnya seakan berhenti berdetak saat rekan kerjanya memberikan informasi jika dirinya dipanggil oleh bagian kepegawaian. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang salah dengan dirinya? Entahlah. Yang jelas nanti seusai apel pagi, ia akan menemui bagian kepegawaian dan mengkonfirmasi semuanya.

"Hei, Pak Ben," sapa satpam penjaga kantor yang usianya tidak jauh berbeda dengan Benny yang tengah melamun di samping pos satpam, di depan kantor.

"Ya?" Benny yang tengah melamun gelagapan karena terkejut. Ia menoleh pada Bejo, satpam yang baru saja diangkat sebagai pegawai negeri diusianya yang sudah senja itu tengah menatapnya dengan tatapan jahil. Sepertinya Bejo memang sengaja menyapanya dengan suara tinggi karena melihat Benny melamun di belakang markasnya.

"Jangan mengagetkanku seperti itu, Jo. Nanti kalau aku jantungan, bagaimana?" sungut Benny datar. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke pohon srikaya yang tumbuh tepat di depan bangku taman yang di dudukinya.

"Ya maaf kalau saya mengagetkan Pak Benny. Oh ya, Pak. Denger-denger kita nanti disuruh ke bagian kepegawaian ya? Bapak sudah menerima informasinya?" tanya Bejo seraya duduk di samping Benny dengan tangan memegang cangkir kopi miliknya. "Kopi, Pak?" tawarnya lagi.

Kita? Bukannya hanya aku saja? Ah, mungkin kebetulan bareng. Batin Benny bingung namun diabaikannya.

"Tidak, terimakasih. Saya tidak ngopi. Memangnya Mas Bejo juga dipanggil bagian kepegawaian?" tanya Benny memastikan. Ia melirik lelaki dengan kemeja batik bercorak mega mendung itu yang kini menyeruput kopinya yang masih mengeluarkan uap panas.

"Bukan hanya kita saja yang dipanggil Pak Ben, tapi juga semua pegawai struktural. Denger-denger sih ada tunjangan baru dari efek ganti walikota kemarin. Lumayan lah TPP* buat kita, bisa buat dapur tetap ngebul," jawab Bejo dengan senyum mirip dengan iklan pasta gigi, menampilkan gigi-gigi depannya yang mulai keropos, bahkan ada pula yang tanggal dua.

Mendengar jawaban Bejo, dada Benny yang sempat sesak seketika merasa lega, seakan beban yang sedari tadi menghimpit dadanya dan membuatnya kesulitan bernapas terangkat begitu saja. Harapan akan kehidupan yang layak bagi keluarganya pun perlahan merasuki alam khayalannya. Tak hentinya juga ia bersyukur akan rezeki yang Tuhan limpahkan padanya jika itu memang benar terjadi.

Terimakasih Tuhan, Engkau memberikan kesempatan untukku membahagiakan anak dan istriku. Batin Benny lirih penuh keharuan. Ia menatap Bejo dengan mata berkaca-kaca.

"Benarkah itu, Mas?" Benny memastikan pendengarannya tidak salah dengar. Ia sampai harus memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat hingga menghadap tepat pada sosok Bejo yang duduk dengan kaki kanan yang diletakkan di atas paha kirinya.

"Ya sudah pasti benerlah Pak Ben. Aku dengar sendiri dari Mas Pur bagian kepegawaian kok."

Benny mengangguki ucapan Bejo, berusaha percaya dan meyakinkan dirinya sendiri akan harapan yang mulai dikabulkan untuknya. Mungkin inilah buah kesabarannya selama ini, dimana gaji yang seharusnya diperoleh secara utuh, harus terpangkas habis untuk membayar hutang-hutangnya di bank. Semoga, dengan adanya Tunjangan Perbaikan Penghasilan itu ia bisa setidaknya membuat keluarga kecilnya dapat makan dengan layak, mengingat selama ini gaji yang diterima setiap bulannya hanya dua ratus ribu rupiah saja. Sebuah nominal yang tidak berharga dan tidak sebanding dengan pengeluaran keluarganya setiap hari.

"Ya sudah, semoga saja kabar yang Mas Bejo terima itu benar adanya," sahut Benny seraya berdiri dari tempatnya duduk. Ia lalu melanjutkan, "saya permisi mau apel dulu, Mas."

"Oh, iya Pak. Nggak kerasa udah jam tujuh kurang saja. Monggo, silahkan Pak Ben." Bejo melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Ia ikut berdiri mengikuti Benny, untuk kemudian menutup dan menggembok pagar kantor yang berdiri megah itu.

(Un)Happy Family [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang