[5]

2.9K 177 21
                                    


2009 – Sertijab, Paskibraka, Twitter

Hari dimana Sertijab akan dilaksanakan pun datang. Tepat hari senin sewaktu pagi layaknya dilaksanakan upacara. Aku sudah berbaris di barisan samping petugas pengibar bendera. Aku tepat berdiri di belakang Gibran—sang calon ketua OSIS yang akan segera diresmikan. Jelas barisan kedua yang aku tempati adalah tempat sang calon wakil ketua OSIS. Kami akan melaksanakan Sertijab setelah pembina upacara berkelakar tentang amanatnya. Disamping barisan kami sudah berdiri para senior yang akan menyerahkan jabatannya kepada kami. Barisan paling depan berdiri Sen Mia yang mencengkram bendera lambang ketua OSIS di tangannya.

Hatiku deg-degan tidak karuan. Bukan karena harus ditonton satu sekolah karena maju di tengah lapangan. Bukan sama sekali. Ini karena aku akan berhadapan dengan abang senior paling galak yang pernah aku temui. Dan dia nanti akan menyerahkan bendera wakil ketua dan menyematkan badge di lenganku.

Ya tuhan. Padahal sewaktu seleksi menghadapnya, dia bahkan tidak mendengarkan visi dan misiku hingga selesai. Atau bahkan memerondongiku dengan banyak pertanyaan. Tidak sama sekali. Aku bahkan sudah berpasrah diri kalau semisal memang tidak mendapat jabatan di OSIS. Tapi ini malah di luar pemikiranku.

Sen Tio sedang menatap lurus ke depan. Dia tegas dan menyeramkan seperti biasanya.

Tiba waktu kami maju dan saling berhadapan dengan para senior jabatan lama yang akan menyerahkan jabatannya kepada kami. Sen Tio masih menatap lurus ke depan sembari memegang bambu yang terkibar bendera di atasnya. Dia tidak melirikku sama sekali.

Atau mungkin karena tinggi badanku yang jauh sekali darinya makanya aku luput dari pandangannya? Ah terserah saja. Aku hanya ingin prosesi ini cepat berakhir.

Aku melirik Gibran yang sama seriusnya dengan yang lain. Oke, ini tandanya aku harus serius juga. Kami maju selangkah kedepan untuk detik-detik penyerahan bendera dan disusul penyematan badge di lengan. Saat ini dada bidangnya ada di depan mataku. Aku yang seharusnya meraih bendera dari tangan Sen Tio malah mengangkat sedikit wajahku kearah wajahnya. Dia melirikku tajam.

"Ambil oon, jangan liatin aing." Ucapnya lirih.

Kutundukkan kepalaku lalu mengambil bendera dengan perlahan. Kemudian sembari kupegangi bendera sen Tio menyematkan badge di lengan kiriku. Disambut tepuk tangan dari seluruh penjuru sekolah kami kembali ke barisan semula. Sertijab selesai dan sekolah belajar seperti biasa.

"Aduh hawanya ini beda yah duduk sama bu waketos." Tari sudah meledekiku sejak pagi.

Kutatap dia dengan tatapan segarang mungkin. Tari terkekeh geli.

"Eh, eh Bya, jangan lupa nanti sore latihan kaya biasa. Mau dijemput?" tanya Gibran.

Aku menggeleng, "Bawa mobil sendiri aja deh. Pulangnya mau nginep di kost Tari soalnya."

Gibran menatap Tari, "Nggak bosen kalian lengket mulu tiap saat?"

"Eh, Gi, ngomong-ngomong aku ngerasa ada yang aneh deh. 'kan kamu tau kalo bang Tio suka sinis sama Byanca. Tapi kok dia kepilih jadi gantiin jabatannya? Bukannya itu hak yang milih bang Tio juga ya? Berarti kenapa abang itu pilih Byanca gitu?" kata Tari sama penasarannya denganku.

"Kenapa jadi lo yang banyak tanya sih, Tar? Yang ngalamin aja nggak penasaran noh." Tunjuk Gibran ke arahku.

"Penasaran abis aku, Gi. Tapi males aja bahasnya." Jawabku sekenanya.

"Ya udah ntar juga menemukan jawaban dengan sendirinya, By."

Sore hari tiba dan latihan ekskul baru saja dimulai. Kami berkumpul di lapangan.

ANOTHER BYANCAWhere stories live. Discover now