[10]

4.2K 243 80
                                    


2010 – Januari Hampir Habis


"By, lo udah tau belum Bang Tio pindah ke Bandung? Barusan gue ketemu dia di sini.."

Rongga tenggorokanku serasa tercekat setelah mendengar itu. Aku tidak tau harus merespon apa.

"Gi.."

"Iya kenapa? Lo udah tau ya? Tadi dia nanyain lo ke gue." Katanya lagi.

Aku tambah bingung lalu memutuskan untuk mengakhiri telponnya.

"Sumpah.. Tar.. Ini tuh nggak.. Ah bingung aku." Aku terduduk di pinggir tempat tidur seraya menatap kosong ke arah balkon.

"Iya ya udah kamu jangan sedih ya. Nanti kita omongin kalo kamu udah nggak terlalu pusing lagi mikirinnya."

Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan perasaanku masuk ke kategori sedih atau apa. Yang jelas, aku bingung dengan perasaan yg kudapati saat ini.

Lalu liburanku habis begitu saja dengan (masih) banyak perasaan bingung di hati. Saat hari pertama masuk, aku bertemu dengan Gibran di kelas. Dia berangkat pagi-pagi sekali begitu juga denganku dan Tari.

"Hey yoooo!" dia menyapa kami riang.

Tari menyahutnya. "Mana oleh-oleh dari Bandungnya?!"

"Tenang fans-fansku. Ini gue bawain makanan khas Bandung. Bolu talas warna ungu!!"

"Gi, Gi, ini bukannya makanan khas Bogor ya?" Tari menatapnya bingung tapi acuh seraya mengambil bolu itu.

"....." Gibran diam.

"....." begitu juga Tari.

"Eee.. Gi.." ucapku saat ingin memulai obrolan.

"Darimana yah yang bener ini?!!?!" katanya seakan panik. Dia belum menanggapi ucapanku.

"Udah darimana aja yang pasti ini enak. Nih, By, kamu mau nggak?" kata Tari.

Gibran tertawa memperlihatkan giginya yg rapi. "Byanca, lo apa kabar? Nih makan dong. Nanti diabisin Tari lho."

"Baik aku alhamdulillah.." jawabku mengurungkan niat untuk bertanya tentang hal yg belakangan mengganjal di hati.

"Bagus lah. Apa nih? Kok kayanya banyak yang mau diomongin sama gue?" balas Gibran.

Aku menggeleng singkat.

Gibran tersenyum. "Lo mau bahas Bang Tio, 'kan?"

Tari memelototi Gibran bak memberi kode.

"Kalem, kalem. Apapun sesuatu yang ganjel di hati baiknya cepet lo omongin deh. Nggak baik lama-lama disimpen gitu. Kalo nggak cukup ke Tari 'kan ada gue."

Kadang, aku bersyukur mempunyai sahabat lawan jenis seperti Gibran ini. Dia selalu memahami perasaan teman dekatnya bahkan orang-orang di sekitar Gibran. Hal itu juga yg membuatku urung untuk mengagungkan rasa sukaku kepadanya.

"Lo pasti sedih ya Bang Tio pindah? Gue aja sedih gimana lo ya By." Kata Gibran sekali lagi.

Masih di ambang kebingungan, aku memilih seolah acuh terhadap orang itu. "Apaan sih, Gi? Emang dia siapa pake aku sedihin segala? Malah bagus kali kalo dia pindah jadi nggak usah ada yang tiap hari ganggu atau galakin aku lagi 'kan."

"Harusnya lo sedih By nggak ada lagi orang kaya Bang Tio di sekitar lo."

Aku menatap Gibran tak percaya. "Harus?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 07, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ANOTHER BYANCAWhere stories live. Discover now