[7]

2.5K 201 49
                                    


2009 – Pengibaran, Terpaksa Menebeng, Dipaksa Nebeng


Aku bangun pagi buta hari itu. Gibran sudah menerorku dengan puluhan misscall di ponselku. Papa—yang memang tau hari ini aku punya acara penting tanpa kupesankan sudah membangunkanku pukul 4 subuh. Rundown kegiatanku hari ini memang sudah kubayangkan dari semalam tetapi entah kenapa menjadi buyar begitu saja. Setelah sholat subuh, aku membuka jahitan nama kak Zeppa di seragam kibar turun temurun yang tergantung hebat di depan lemari. Lalu kulanjutkan untuk menggantinya dengan badge namaku.

"Ha? Halo Gi? Iya udah kok ini baru aja mandi. Apa? Kamu udah siap? Aku kayanya bawa mobil sendiri aja deh, Gi. Lagian aku belum makan dan juga belum nyemir pantofelku. Semalem udah ngantuk. Iya iya, nggak akan telat kok. Oke, daaah!" kututup telpon dari Gibran.

Yang benar saja. Aku kalah dari manusia dengan gender yang terkenal suka ngaret alias cowok. Kenapa juga aku tidak ada inisiatif untuk menjahit badge dan menyemir sepatuku dari semalam. Memang wanita pemalas.

Sekitar jam setengah 6 mobilku memasuki latar Teladan. Parkiran masih lowong. Hanya terisi beberapa mobil yang kuyakini pemiliknya sebagian besar anggota yang akan mengibar hari ini.

Aku menggunakan baju berkancing alias kemeja. Tujuannya adalah saat mencopot baju, makeup yang nantinya akan menempel di wajahku tidak akan berantakan. Dan ya, rambutku kupotong sepundak sehari setelah terpilih menjadi pengibar kota.

Singkat cerita tepat pukul 7 Paskibraka alias pasukan pengibar bendera kota sudah on position di lapangan. Para peserta upacara kenaikan bendera juga sudah memenuhi tempatnya masing-masing. Dan acara baru saja selesai sekitar pukul setengah 11 siang. Bayangkan saja bagaimana pegalnya kedua kakiku berdiri selama berjam-jam. Tapi rasa capek itu terbayarkan. Semua anggota menangis bahagia karena tujuan awal kami tercapai; mengibarkan bendera pusaka tanpa ada hambatan.

Rasa haru, bangga, dan bahagiapun teraduk menjadi satu. Pengibar yang lain menangis dalam dekapan orangtuanya masing-masing. Aku tidak kecewa dengan berdiri sendirian di tengah kerumunan orang saat itu. Karena Papa memang berpesan bahwasanya beliau akan ada kunjungan proyek keluar kota. Jangan hanya orangtua saja yang harus mengerti anaknya, begitu juga sebaliknya anakpun harus punya rasa pengertian kepada orangtuanya. Toh, mereka mencari uang untuk hidup kita juga para anaknya.

Aku kembali ke mobil yang para pengibar naiki tadi dan berniat mengambil tasku di bangku penumpang sebelah kanan. Sedikit rasa heran menghinggap, diatas tasku ada sebotol pocari sweat lagi seperti saat itu. Dan juga 1 bouquet bunga mawar merah 15 tangkai. Dengan rasa penasaran kuraih bunga itu dan kubaca nama penerimanya, kalau-kalau memang bukan untukku. Tetapi nama yang tertulis di akhir surat memang namaku.

"Byanca, lo udah minum?" Gibran datang dengan 2 botol air mineral di tangannya. Keringat membasahi wajahnya. Dengan peci kibar yang belum berpindah dari kepalanya.

Oh iya, aku belum pernah menggambarkan sosok Gibran ya. Gibran mempunyai badan tinggi dengan berat yg proporsional—menurutku. Tidak tau tepatnya berat dan tinggi Gibran. Sepertinya sekitar 175 centi. Alisnya yang tebal dan matanya berwarna hitam teduh. Kulitnya sawo matang dengan tangan besar bak lelaki yang tidak pernah melewatkan kegiatan 'olahraga' dalam hidupnya. Wajahnya manis dengan kedua lubang di pipinya. Menurutku, lesung pipi adalah cacat terindah yang pernah Tuhan ciptakan untuk hambanya.

Nggak heran 'kan kalau Gibran sering menjadi perbincangan hangat di kalangan senior maupun angkatanku sendiri. Karena memang dia seistimewa itu. Apalagi dengan ketambahan pangkat 'Pak Ketua' seperti saat ini. Mungkin seluruh penjuru sekolah adalah penggemarnya.

ANOTHER BYANCAWhere stories live. Discover now