Chapter 17: The Survivor

389 56 14
                                    

Hujan deras yang mengguyur seluruh penjuru negeri hampir membuat segalanya lumpuh total. Bukan karena hal lain, melainkan karena guyuran air yang tak kunjung reda itu mampu menahan para penduduk untuk tidak keluar dari tempat tinggal mereka.

            Daratan kini telah lupa wujud aslinya yang kini telah berubah menjadi tanah lembek yang terlihat tenang namun dapat menenggelamkan siapapun yang tak waspada. Lihatlah, alam telah membuka lembaran baru yang mungkin akan melahapmu dalam sekalian telan.

            Di sudut kota yang tidak terjamah oleh siapapun kecuali beberapa orang khusus yang mampu menemukannya, tertawa riang sebuah suara yang seakan menjerit bahagia. Lelaki itu terlihat sangat bahagia walaupun dengan kondisi tangan kirinya yang nyaris tak berbentuk.

”Akhirnya, akhirnya aku aku menemukannya! Aku menemukan cahaya harapan kami!” serunya sambil terus berjalan tergopoh-gopoh menyusuri jalan setapak yang membelah hutan yang gelap. Langkah kakinya diikuti percikan air bercampur lumpur yang dengan senang hati membantu mewarnai bajunya yang bermula berwarna merah darah menjadi coklat. Kegilaan telah menguasainya.

            Kedua kakinya terus membawanya menuju sebuah tempat yang mungkin tidak-ada-siapapun yang akan sukarela melangkahkan kakinya ke sana. Menuju sebuah ”sarang” di mana ada dua pilihan. Membunuh dirinya sendiri, atau terbunuh oleh Sang Penguasa.

Selamat datang di sebuah opera mini yang akan menenggelamkan kesadaranmu lebih dalam lagi.

.

.

Allison’s POV

 

            Kulangkahkan kakiku secara perlahan keluar dari kamarku. Melihat sekelilingku untuk berjaga-jaga agar kedua kakakku tidak melihat keberadaanku di luar kamar. Ya, mereka berdua melarangku untuk beraktivitas dan memprioritaskan istirahat dibanding yang lainnya. Memang, bahu kiriku terasa bagaikan ada sebuah pedang menancap tepat di sana (walaupun aku belum pernah merasakan sebuah pedang menancap di pundakku). Inilah salah satu alasan mengapa aku membenci hari hujan.

            Kedua kakiku membawaku terus berjalan menuju sayap Barat dari mansion besar ini. Mencari setidaknya siapapun yang dapat kuajak bicara. Yah, setelah aku kembali ke dalam kamarku, kedua kakakku melarangku untuk menemui Harry yang tengah berdiri di belakang Kak Liam. Memang bukan sebuah larangan langsung, sih. Tapi kurasa yang dikatan Kak Louis terdengar seperti larangan (ugh, kata-kataku sangat membulat). Kami harus menghadiri sebuah pertemuan dahulu. Kau bisa mengobrol dengannya malam ini. Itulah yang dikatakan Kak Louis sebelum dia membawa Harry dan Kak Liam pergi menyusuri lorong panjang hingga aku tidak bisa melihat keberadaan mereka lagi.

”Wah, kau jadi jelek, Al,” ucap sebuah suara yang membuat kedua kakiku lemas seakan aku kehilangan semua tulangku dan membuat jantungku berhenti sesaat.

”Zayn!” teriakku kesal pada sesosok makhluk yang kurasa terjebak di antara alam sana dan alam sini. ”Apa yang kau lakukan, bodoh!”

”Hanya ingin menyapa seorang putri yang baru saja melewati hari tersuramnya dan begitu aku melihatmu setelah seharian tak melihatmu, kau malah bertambah semakin jelek dengan perban yang membungkus bahu kirimu. Pfft, padahal aku berharap kau bisa menjadi lebih cantik,” Zayn hanya terus berbicara dengan topik anehnya. Kupalingkan wajahku dan kupandangi wajahnya dengan tatapan sinisku.

”Memang kalau aku menjadi lebih cantik mengapa?”

Dia tidak menjawab pertanyaan dengan sepatah katapun. Hanya memainkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah disertai senyuman aneh yang seakan ingin membuatku memukul wajahnya. ”Hantu mesum!”

Turn Back The PendulumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang