Chapter 1: Life as a Princess

2.3K 71 4
                                    

London, Inggris, 1708.

9am.

            Kujinjing rok berwana biru muda yang penuh dengan renda dan pita menyusuri lorong istana yang penuh dengan lukisan super besar di sepanjang dindingnya. Seluruh lorong dan ruangan di mansion ini aku telusuri untuk dapat menemukan kakak tertuaku yang terkadang suka menghilang secara mendadak dan ajaib seperti seorang penyihir.

“Kak Lou! Kak Lou kau di mana?” teriakku memanggil kakakku yang dari tadi tidak dapat aku temukan di mana-mana.

“Boo!”

“Ah, Kak Lou! Kau mengagetkanku!” sontakku ketika dua buah tangan tiba-tiba melingkar di pinggangku dari belakang.

Dia hanya terus tertawa kemudian mencium keningku setelah menyingkirkan poniku. “Maaf adikku yang cantik. Ada apa kau berlarian ke sana kemari memanggil namanku?”

“Oh iya! Nona Emy sudah ada di depan! Cepat temui dia!”

“Baiklah. Sampai ketemu saat makan malam, Ali,” senyunya lalu berjalan berbalik menyusuri lorong sambil melambaikan tangannya. Nona Emy adalah tunangan kakakku. Dia adalah perempuan tercantik yang pernah aku tahu setelah ibuku dan tunangan kakakku yang satunya, Liam. Perilakunya sangat menawan dan elegan sebagai seorang putri keluarga Rufus. Senyum dan kedua bola mata birunya bahkan yang terindah yang pernah aku lihat. Kakakku dan Nona Emy saling mencintai bahkan sebelum mereka berdua tahu bahwa mereka telah dijodohkan. Betapa beruntungnya mereka. Cinta mereka abadi.

“Hei, Ali. Kenapa kamu bengong?”

“Hiiii! Kak Liam! Kau mengagetkanku!” seruku lagi-lagi karena aku merasa kaget ketika wajah Kak Liam tiba-tiba tepat berada di depanku.

“Weits, maaf, Ali. Eh, kau kosong tidak hari ini? Mau temani kakak ke kota untuk membeli roti?” kakakku terus memainkan rambut coklatku yang bergelombang ketika kami berdua berjalan menyusuri lorong menuju ruang makan. Rambut coklatku ini kudapat dari ibuku. Sedangkan bola mata hijauku kudapat dari ayahku. Kata ibu dan kedua kakakku. Aku tidak ingat wajah ayahku karena saat itu aku masih sangat kecil.

“Um, boleh. Mengapa kau tidak menyuruh Paman Gil saja?” tanyaku berbalik padanya saat kakakku mulai menarikkan sebuah kursi untukku di meja makan. Paman Gil adalah pembantu di mansion tua ini. Beliau adalah laki-laki tua yang baik hati.

“Aku tidak enak, ah, padanya. Kan sekalian berjalan-jalan menghirup udara London yang segar,” kakakku tertawa kecil sambil menerima secangkir anggur dari seorang pelayan wanita.

            Suasana menjadi sangat tenang ketika sepasang garpu dan sendok perak menyentuk sajian yang ada di atas piring. Hanya terdengar sedikit gesekan antara garpu dan sendok tersebut dengan piring tebal yang terlihat mahal ini.

“Jadi?” ucap kakakku ketika semua makanan di piring telah habis dan dua orang pelayan membawakan sebuah menara setinggi empat puluh lima centimeter yang berisikan belasan cupcakes sebegai dessert pagi ini. Ugh, aku tidak suka makanan manis.

“Jadi?”

“Kau ikut tidak?” aku mengangguk sambil mengambil satu buah cupcake dan mulai memakan buah cerry merah yang bertengger manis di atasnya tanpa memakan kue berbentuk cup dan berkrim banyak itu.

“Hush, kau tidak baik. Jangan ambil buahnya saja,” kakakku mengingatkanku sambil berdiri dan mengikatkan sebuah pedang bersarung hitam di pinggang kirinya.

“Aku, kan, tidak menyukai makanan manis penuh gula ini…”

“Kenapa kau tidak bilang pada para pelayan saja, sih. Toh kau tidak harus mengambilnya, kan,”

Turn Back The PendulumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang