Chapter 9: Hand Gun

1.2K 50 7
                                    

            Suara siulan burung-burung kecil terdengar jelas di ruang makan. Aku dan kedua kakakku tengah menyantap sarapan pagi ini berupa beberapa potong bacon, kentang goreng, dan dua sendok kacang polong. Euh, kacang polong.

”Jadi, apa yang kalian lakukan berdua di kamar itu tadi malam?” tanya Kak Louis sambil menegak segelas air mineral dari gelasnya. Berdua dengannya. Yah, Harry-lah yang dia maksud.

Untuk berpuluh kalinya aku menghembuskan nafasku pagi ini. ”Ya ampun, Kak. Kami hanya berbincang saja,” balasku merapikan sepasang sendok garpu di atas piring. Tadi malam, setelah Harry menunjukkan dan menjelaskan mengenai tato kupu-kupu hitam di perutnya, kami berdua keluar dari kamar kosong itu dan kulihat Kak Louis tengah berjalan melewati kamar itu. Melihat Harry dengan pakaian yang sedikit berantakan, membuat Kak Louis berfikir yang aneh-aneh.

”Sudahlah, Lou. Ali tidak segila itu juga,” ucap Kak Liam membantuku. Aku hanya mengangguk keras dan hampir merusak rambutku.

Tiba-tiba Kak Louis tertawa keras. ”Iya, iya aku tahu. Aku hanya bercanda,” Kak Louis kembali tertawa dan berdiri dari tempat dudukknya mengambil pedang miliknya di sisi meja. ”Baiklah aku pergi dulu. Jangan lupa latihanmu, Al. Dan Liam, awasi Allison,” lanjut Kak Louis lalu mencium pipiku.

”Ya ya ya, Lou. Cepatlah pergi sana,” balas Kak Liam masih menyantap sepotong kue miliknya. Kak Louis hanya menjulurkan lidahnya dan beranjak keluar dari ruang makan.

Keadaan menjadi sunyi sesaat ketika Kak Louis meninggalkan kami berdua. Kak Liam masih serius menyantap kekasihnya setiap pagi hari. Ya, sepotong kue keju dengan setangkai buah cherry merah di atasnya. Jangan sekali-kali mengganggu kakakku yang sedang berdua dengan kekasihnya itu di dunia mereka.

”Jadi, Al, kau sudah siap?” tanya Kak Liam bangun dari kursinya. Aku mengangguk melihat wajahnya. ”Gantilah bajumu dulu. Aku tunggu di halaman belakang,” lanjutnya lalu pergi menuju ruangan lainnya. Aku berjalan sendiri menuju kamarku mencari bajuku. Ya, aku akan latihan. Hand gun menjadi pilihanku setelah aku menguasai cara menunggangi kuda. Memang, bangsawan perempuan melakukan hal ini bisa dibilang aneh di zamanku. Biasanya, hanya para ’anjing penjaga Ratu’ atau ’pasukan penjaga Ratu’ yang diwajibkan menguasai sekurangnya tiga keahlian. Tapi, keluargaku hanya bangsawan biasa, bukan bangsawan seperti itu. Jadi, ya, tetap saja aneh.

Terkadang, banyak bangsawan lain yang menanyaiku mengapa aku melakukan semua hal milik pria itu. Aku hanya ingin kuat. Bisa menjaga diriku sendiri dari para bandit-bandit kelas kakap yang mengincar kepala kami. Aku ingin bisa pergi bebas ke tengah kota tanpa segerombolan pelayan yang mengitariku seperti seorang tahanan yang akan kabur. Bicara mengenai para bandit, mereka tidak bisa diremehkan. Semasa kecil, aku hampir kehilangan nyawaku karena para bandit berhasil menangkapku yang terlepas dari genggaman ibuku ketika kami berada di tengah kota. Nyawa harus diganti dengan nyawa. Waktu itu, ibuku hampir menukar nyawanya dengan nyawaku. Tapi untung saja para ’anjing penjaga Ratu’ berhasil menyelamatkanku dan ibuku. Dan semenjak saat itulah, Ratu memberikan delegasi bahwa siapapun yang dapat membawakannya sepenggal kepala bandit, Ratu akan memberikan hadiah yang setimpal. Karena itu pun, persebaran bandit di kota ini menyusut dan hanya para bandit kelas kakap yang bisa bertahan.

”Kau siap?” tanya Kak Liam dengan dua ekor kuda di tangannya ketika aku menghampiri Kak Liam di pintu belakang mansion.

”Baiklah ayo kita mulai petualangan ini!” seru Kak Liam dan membantuku menaiki kuda berwarna hitam kesayanganku. Kami menunggangi kedua kuda ini masuk ke dalam hutan lebat di belakang mansion ini. Semakin lama kaki kuda melangkah, aku hanya bisa melihat batang-batang tumbuhan yang semakin lebat ditumbuhi lumut. Hawa di hutan ini membuatku merasa tidak enak. Seakan ada sebuah perasaan yang terus mengikutiku.

Turn Back The PendulumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang