17

94 10 0
                                    

Hari-hariku setiap pagi dimulai dengan bangun tidur, lalu mensugesti diri bahwa aku baik-baik saja. Bahwa kepergian Bintang sama sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadapku. Dan aku jadi ingat bahwa Bintang sudah meninggal, dan detik itu juga dadaku seperti kejatuhan bola boling. Membuatku tidak enak badan dan ingin muntah. Biasanya, perasaan itu akan bertahan sepanjang hari.

Daripada galau di rumah, sore itu, aku memutuskan untuk jalan-jalan ke pantai Karang. Tempat abu Bintang diarung ke laut. Sesampainya di sana, Mila dan orangtua Bintang sedang duduk-duduk di pasir, menatap ke arah laut.

Aku menyapa mereka dan ikut duduk di samping Mila. Dia mencoba tersenyum sekilas, namun sepertinya belum bisa. "Gimana keadaanmu?" Tanyanya.

"Setelah membanting laptopku, aku merasa lebih... buruk." Sahutku. "Kamu?"

"Buruk juga." Ujarnya. Tanpa bertanya pun, aku tahu Mila tidak baik-baik saja. Matanya masih bengkak dan bahkan masih memerah seperti habis menangis.

Orangtua Bintang bangkit berdiri dan mengatakan akan jalan-jalan sebentar. Aku mengangguk, memaksakan diri untuk tersenyum sopan.

Setelah mereka pergi, Mila masih diam sambil menatap pantai. Lalu tiba-tiba dia bertanya. "Danan suka sama Kak Bintang ya?" Matanya masih belum beralih dari pantai. Aku hanya bisa diam. Mila menolehku sebentar, lalu kembali menatap pantai. "Ya sudah, nggak dijawab juga nggak pa-pa."

"Iya, aku suka Bintang." Sahutku cepat. "Bahkan setelah dia nggak ada, aku masih suka sama Bintang."

"Aku sudah tau." Mila menghela napas. "Kak Bintang memang gampang disukai."

Hening.

"Pet shop belum buka, Mil?" Tanyaku lebih untuk memecah keheningan yang mulai menjengahkan. "Kalau ada yang bisa kubantu, kamu tinggal bilang."

"Belum." Sahut Mila. "Keluarga Kak Bintang sepertinya masih belum berencana membukanya lagi."

Aku manggut-manggut. "Kamu sibuk apa sekarang?"

"Sekolah." Mila terdiam sebentar. "Dan, seminggu ini, aku ikut kursus mengemudi."

"Oh ya?"

"Iya, aku masih sering berpikir bahwa Kak Bintang pergi karena aku nggak bisa nyetir."

"Bukan salahmu, Mil." Potongku. "Pagi itu, seharusnya aku yang ikut. Bukan kamu. Tapi aku lebih memilih mengerjakan naskah novel daripada ikut ke Batur."

"Mungkin memang sudah takdir." Mila menghela napas. "Bagaimana naskahnya, Danan?" Tanya Mila terlihat mencoba untuk tersenyum, tapi tetap gagal.

"Aku nggak ngelanjutin naskah itu. Lagian laptopku sudah rusak." Aku tersenyum getir.

Mila menatapku sesaat, kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah buku. "Ini catatan Kak Bintang, dia banyak menulis di sini sebelum kepergiannya. Mungkin Danan bisa menemukan sesuatu di sini." Ujar Mila pelan.

Aku mengambil buku itu dan menatapnya lekat-lekat. Buku kecil itu berwarna biru, dan wanginya seperti Bintang. Stroberi. Kupejamkan mata, dan senyum itu terbayang lagi, lengkap dengan gigi kelincinya yang imut. Sejenak, aku merasa cewek itu sedang ada di sampingku. Lalu, ketika angin pantai meniup aroma stroberi itu pergi, Bintang pun menghilang lagi.

"Ada saat-saat aku sangat ingin mengobrol dengannya." Ujarku lirih. "Aku bahkan sempat berpikir, nggak pa-pa jika dia muncul sebagai hantu, kayak di buku Tears In Heaven. Yang penting, aku bisa mengobrol dengannya."

Mila meletakkan tangannya di pundakku. "Mulai sekarang, Danan bisa ngobrol sama aku, atau sama Kak Tomat." ucapnya. Aku hanya mengangguk. Tahu bahwa maksud Mila baik, namun itu sama sekali tidak membantu.

Jejak BintangWhere stories live. Discover now