7

95 12 1
                                    

Meskipun pantatnya terluka (tapi sudah diobati), dan dia baru saja membunuh dua orang, itu sama sekali tidak membuat celotehan Bintang berkurang. Sambil mengemudi, dia mulai berbicara sesuatu tentang dunia yang tidak adil padahal sebenarnya adil karena dunia tidak pernah adil kepada semua orang. Ocehannya membuatku geleng-geleng kepala. Bintang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seharusnya dia merasa bersalah atau semacamnya, bukannya malah mengomel bahwa dunia ini sebenarnya adil karena dunia tidak adil kepada semua orang.

"Astaga!" Potongku cepat.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Aku mau pulang." Ujarku ketika mobil Bintang berhenti di pinggir jalan.

"Belom waktunya. Aku mau ngambil sesuatu dulu." Ujarnya.

Bintang mengambil semacam karung di jok belakang, dan beranjak keluar. Dia berjalan beberapa langkah, lalu menoleh ke belakang, ke arahku. "Ayo, buruan!"

"Sendalku tinggal sebelah." Ujarku sambil membuka pintu mobil, dan menjulurkan kaki kiriku yang tanpa sendal.

"Ya ampun, kamu pakai saja sepatu yang tadi kubelikan." Bintang mengambil sepatu itu di jok belakang, dan meletakkannya di dekat kakiku. Aku melepas sendal yang tersisa, dan mengenakan sepatu itu. Meskipun tanpa kaus kaki, rasanya sangat nyaman.

"Sudah?"

Aku mengangguk.

Bintang memberi tanda agar aku mengikutinya, aku pun keluar dari mobil dan berjalan di belakang cewek itu. Suara jangkrik dan udara yang dingin mengiringi setiap langkahku. Rasanya aku mau pulang dan tidur di bawah selimut.

Bintang berhenti di sebuah pagar rumah seseorang. Suasana benar-benar gelap.

"Panjat." Ujarnya.

"Panjat?"

"Panjat." Dan Bintang memanjat pagar rumah itu. Tingginya sekitar dua meter, namun cewek itu melewatinya dengan mudah. Pertama, Bintang melompat dan tangannya berpedangan pada puncak pagar. Lalu kakinya bergerak-gerak seolah berjalan di tembok. Dan dalam beberapa detik, dia sudah ada di seberang pagar. "Ayo! Buruan, naik." Terdengar suara bisikan Bintang dari seberang sana.

Aku mengikuti gerakan Bintang tadi. Tapi susah sekali. Aku tidak bisa memanjat tembok sialan itu. Setelah beberapa kali mencoba dan mendapatkan luka gores di tangan, akhirnya aku bisa mencapai puncak pagar, lalu melompat ke bawah, ke dalam halaman rumah.

"Astaga, kenapa lama sekali?" Tanya Bintang sebal. "Aku hampir ketiduran nunggu kamu."

Aku hanya diam saja. Berjongkok di depan Bintang.

"Nih," Bintang memberikan sebuah karung kepadaku. Sementara dia sendiri masih memiliki satu buah karung lain. "Kita panjat pohon mangga ini, kamu kumpulin buahnya sampai karungmu penuh, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dan mengambil hasil cangkokan yang sudah jadi."

"Kenapa harus mangga ini? Dan kenapa harus mencuri?" Tanyaku heran.

"Karena aku punya kebun buah di Ubud, aku punya semua jenis buah, termasuk pohon durian. Tapi aku nggak punya pohon mangga. Bayangkan, aku nggak punya pohon mangga!" Seru Bintang penuh emosi, seolah tidak punya pohon mangga adalah dosa besar yang tak termaafkan. "Buah mangga satu ini manis sekali. Aku sudah pernah minta baik-baik sama pemiliknya, tapi nggak dikasih. Jadi, sekarang kita mencurinya."

"Jangan pakai kata 'kita'," potongku.

"Oke, aku mencurinya. Dan kamu membantu."

"Aku nggak akan membantu."

Jejak BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang