16

80 9 0
                                    

Setelah Bintang berangkat ke Batur, aku masuk lagi ke kamar, mematikan handphone dan mulai mengerjakan revisi naskah novelku yang diminta oleh editor.

Seharian itu, aku hanya berencana untuk mengetik, mengetik, dan mengetik. Hanya keluar kamar untuk makan atau pergi ke kamar mandi. Dengan teliti, aku mengerjakan kembali naskahku dari awal, mencoba memperhalus setiap kalimat, dan memperbaiki bagian-bagian yang masih kurang pas.

Sampai sore hari, aku hanya menyisakan bagian ending-nya. Tokoh Bintang dalam novelku, akan memberi jawaban untuk tokoh Danan (aku sendiri) di hari Senin. Jawabannya bisa menerima Danan sebagai pacar, yang akan membuat happy ending di akhir novelku. Atau bisa juga menolak Danan sebagai pacar, itu akan membuat novelku agak mellow. Namun, tentu bukan masalah besar, karena akhirnya mereka tetap bersahabat. Lagi pula masalah utama di novelku adalah penampungan anjing yang sudah berhasil diselamatkan.

Setelah memberi dua opsi ending, aku beristirahat karena kalelahan menatap layar laptop. Aku pun tertidur.

***

Sekitar pukul dua pagi, aku terbangun dengan rasa haus yang menggigit. Lalu turun ke bawah, mengambil air di dapur, dan minum satu gelas penuh.

Cahaya lampu depan, membimbingku kembali ke kamar, dan berbaring di kasur. Menatap langit-langit kamar yang gelap. Aku tersenyum memikirkan Bintang, dan membayangkan jawaban apa yang akan dia berikan di hari Senin. Dan entah kenapa, waktu itu, aku mendadak punya keinginan yang kuat untuk menghidupkan handphone.

Ketika kuhidupkan, ada dua puluh satu panggilan tak terjawab, dan beberapa SMS. Semuanya dari Mila, semuanya berisi kalimat yang sama. "Danan, tolong, Kak Bintang jatuh di Batur, kepalaku terluka. Kamu bisa ke sini?"

Aku masih bingung. Ke sini itu maksudnya ke mana? Lantas, beberapa SMS masuk. Kali ini, dari nomor yang tak terdaftar. "Bintang ada di rumah sakit Sanglah."

***

Pagi dini hari itu, aku pun bersiap menuju rumah sakit Sanglah. Tanpa ada firasat apapun. Aku bahkan membawa beberapa buah pisang dari kulkas, yakin Bintang akan senang mendapatkan pisang itu sebagai sarapan, yakin bahwa cewek itu akan baik-baik saja, yakin bahwa dia akan kembali pulih seperti biasa.

Lantas, aku mengenakan jaket, dan celana jeans panjang. Mengambil kunci motor, membuka pintu depan pelan-pelan, dan menggiring motor keluar. Mengendarai motorku menuju rumah sakit. Jalanan masih sepi. Namun, ada beberapa motor yang berpapasan denganku. Udara masih segar dan dingin. Sinar matahari belum muncul, dan jalanan masih diterangi lampu-lampu jalan. Sambil mendengar deru sepeda motorku sendiri, aku sempat berpikir, pasti akan sangat canggung bila bertemu Bintang sekarang, setelah aku nembak dia, dan dia berjanji akan menjawab di hari Senin. Sebenarnya, akan lebih baik jika aku bertemu Bintang besok saja, supaya dia bisa langsung memberiku jawaban. Ketika itu, aku belum tahu, Bintang tidak akan bisa memberiku jawaban di hari Senin besok, atau hari Senin mana pun sepanjang sisa hidupku.

***

Setelah sampai di rumah sakit dan memarkir motor, aku berjalan di koridor, mencoba mencari kamar tempat Bintang dirawat. Dadaku agak berdebar-debar membayangkan akan bertemu Bintang.

Tadi, setelah membaca SMS dari Mila, aku langsung menelepon cewek itu. Namun, bukan Mila yang mengangkat melainkan ibu angkatnya Bintang. Beliau memberitahu bahwa Bintang sedang berada di IGD dan sekarang sedang ditangani dokter.

"Nggak parah kan, Tante? Bintang bakal baik-baik saja kan?"

"Kita berdoa sama-sama." Hanya itu jawaban beliau. Dan aku masih berpikir, Bintang pasti baik-baik saja. Dia cewek yang kuat.

Jejak BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang