13

71 11 0
                                    

Mendekati ujian tengah semester, aku mulai lebih rajin kuliah, dan benar-benar serius memperhatikan penjelasan dosen, dan tentu saja, tetap menandatangani daftar absen atas nama Bintang.

Begitu pula di kelas Pengantar Ilmu Hukum, hari itu. Namun, ada yang berbeda. Aku sudah membolak-balik kertas absen beberapa kali. Dan menyadari bahwa namaku tidak ada. Setelah lelah mencari, dengan hati galau, aku menandatangani nama Bintang di lembaran pertama. Namanya masih ada, Putu Bintang Gustika.

Sepanjang kuliah, aku tidak bisa berkonsentrasi, memikirkan kemungkinan seandainya aku tidak boleh ikut ujian karena namaku tidak ada di daftar mahasiswa.

Ketika kelas berakhir, aku langsung pulang, dan merebahkan diri di kasur. Tidur. Terlalu lelah dengan pikiran-pikiran di kepalaku.

Malamnya, entah pukul berapa, aku terbangun karena mendengar suara orang berdebat, Bapak dan Ibu. Dari apa yang kudengar, sepertinya mereka berselisih tentang keinginan Ibu untuk memulai usaha baru. Dan Bapak, seperti biasa, tidak setuju. Beliau takut usaha itu bangkrut. Bapak memang seperti itu, lebih sering melihat segala sesuatu dari sisi negatifnya.

Di dalam kegelapan, aku meraba-raba bantal di sebelahku. Setelah menemukan handphone-ku, tanganku otomatis mencari nama itu.

"Woy, Nan." Sapanya di ujung sana.

"Kamu lagi di mana, Tang?"

"Di jalan."

"Oh."

"Kenapa?"

"Nggak, aku cuma mau denger suaramu." Sahutku jujur. "Dan aku ada sedikit masalah." Aku menambahkan.

"Coba cerita."

Aku pun menceritakan kejadian di kampus, tentang namaku yang tidak masuk dalam daftar absen, dan perdebatan Bapak dan Ibu tentang membuka usaha baru.

"Astaga, itu bukan masalah, Nan." Ujar Bintang sambil tertawa. Aku agak tersinggung dengan respon Bintang yang menganggap masalahku bukan masalah, dan malah menertawakannya. Lalu Bintang menambahkan. "Aku bahkan nggak pernah kuliah, Nan. dan aku sudah pasti dapat nilai E di mata kuliah Hukum Tata Negara. Aku nggak peduli."

"Tapi..."

"Danan, kamu terlalu mikirin hal yang seharusnya nggak perlu dipikirin." Potong Bintang. "Ya ampun, itu bukan masalah. Besok kamu tinggal datang ke bagian tata usaha, terus bilang kalau namamu nggak ada. Dan soal Bapak dan Ibu yang berdebat, nanti juga mereka baikan. Memang seperti itu kan? Kita juga sering berdebat, malah sekarang pun kita berdebat. Tapi, kamu masih suka kan sama aku?"

"Eh? A-Apa?"

"Buruan turun!"

"Turun ke mana?"

"Ke bawah lah, masa ke atas?" Bintang tertawa lagi. "Aku ada di bawah, di depan rumahmu."

Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Benar saja, mobil Bintang sudah terparkir rapi di depan rumah. Parkirnya lurus dan jaraknya tipis sekali dengan tembok pagar rumahku. Salah satu lagi keahlian Bintang yang membuatku iri. Cewek itu berdiri dan bersandar di pintu mobil, mendongak dan melambaikan tangannya sekilas. Lalu tersenyum. "Turun." Katanya lagi. Suaranya masih kudengar lewat telepon.

Aku mengangguk dan mematikan telepon. Lalu, pelan-pelan turun, berusaha tanpa suara. Karena pintu gerbang sudah dikunci, aku melompatinya, sebelum berjalan menemui Bintang.

"Ikut aku." Katanya.

"Ke mana?"

"Nonton konser." Ujarnya lagi. Belum sempat aku bertanya konser apa dan di mana, Bintang sudah menambahkan. "Sekarang kita jemput Mila dan Tomat."

Jejak BintangWhere stories live. Discover now