Chapter 19

811 69 14
                                    


#NowReading
Resist Your Charm By Galaxywriter

×××

Semilir angin di Selasa pagi mengiringi langkah Prilly yang tengah berjalan menuju lobi utama sekolah yang tak tahu mengapa terasa begitu jauh dari pintu gerbang sekolah. Kedua tangannya ia masukkan ke kantong jaket putih tebalnya demi meminimalisir rasa dingin yang menusuk sampai tulang. Sedangkan rambut hitam yang ia guncir satu tertutupi tudung jaket.

Pagi ini, entah kenapa hawanya terasa lebih dingin dari biasanya. Embun yang melayang di udara pun masih cukup tebal hingga pengendara di jalan raya harus menyalakan lampu kendaraannya agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Padahal jarum jam yang melingkari tangan kirinya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit dan sekolah sudah mulai terlihat ramai akan murid-murid.

Dalam langkah kecilnya, Prilly sedikit menengadahkan kepala untuk melihat kondisi langit yang ternyata masih tetap sama; mendung. Matahari seperti enggan untuk keluar dari sarangnya.

Seketika Prilly langsung tersenyum sedih.

Entah mengapa, ia merasa bahwa alam pun turut merasakan apa yang telah ia rasakan. Sehingga sang mentari enggan menampakkan diri sepenuhnya untuk menyinari ibukota. Rasanya, alam memang mengerti dirinya. Dan hanya alam dan Tuhan serta dirinya lah yang tahu tentang perasaannya saat ini.

Semalam, Prilly baru bisa tidur pukul dua pagi setelah menangis menumpahkan seluruh arimata yang ia punya bersama perasaan yang bercampuraduk di dalamnya. Sedih, miris, dan kecewa bergumul menjadi satu kesatuan di dalam dada. Dan Prilly tidak cukup kuat untuk tidak menumpahkan semua itu sampai-sampai saat ia meluruhkan segalanya, airmatanya terasa mengering dan habis.

Airmatanya seperti terkuras habis-habisan malam tadi.

Hal itulah yang membuat kedua kantung mata gadis berkulit  putih tersebut terlihat menyipit akibat bengkak setelah menangis dalam waktu berjam-jam. Begitu tadi pagi ia bangun, tidak terkejut saat melihat penampakkan kantungmatanya yang membuatnya terlihat seperti Zombi. Awalnya gadis itu tidak ingin masuk sekolah hari ini, namun ia juga tak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya yang membuatnya tak masuk sekolah pada oramgtuanya. Sebetulnya, ia bisa saja berbohong, tapi ia juga tak ingin menjadi seorang anak durhaka karena berani membohongi ayah dan bundanya—meski itu hanya kebohohan kecil.

Langkahan Prilly kemudian tiba-tiba memelan bersamaan dengan napas yang tertahan ketika pandangannya bertemu dengan sepasang iris hitam milik seorang laki-laki yang tengah berdiri di parkiran dengan helm di tangan.

Matanya langsung meredup seketika saat mendapati lelaki bernama Aliandra itu melempar senyum manis kepadanya.

Prilly meringis pelan. Rasanya ingin menangis saja ketika melihat orang yang sudah membuatnya menangis semalaman—meski pada hakikatnya Ali tak mengetahui hal ini—tersenyum tanpa tahu bahwa senyum itu bisa saja membuat Prilly terbunuh karena sakit yang tiba-tiba menjalar saat bersitatap dengan kak Ali. Namun airmatanya sudah tidak bersisa bahkan setetespun. Hal itu bagus menurut Prilly karena dengan begitu, akan sedikit lebih mudah untuknya terlihat baik-baik saja tanpa harus menahan tangis.

Prilly pun membalas senyum kak Ali setelah berperang melawan batin.

Senyum, sebuah senyuman yang sarat akan kesedihan yang begitu dalam.

Lalu setelah itu, tanpa berucap satu kata pun gadis itu melangkah pergi, ia tak tahan. Untuk saat ini, Prilly tak ingin melihat wajah laki-laki yang disukainya itu. Karena perasaan yang telah bercampuraduk itu akan selalu muncul jika Ali terus menerus berada di sekitarnya.

Heart BreakWhere stories live. Discover now