Chapter 14 (a)

820 64 0
                                    

#Now Reading
Trouble by ffoxes


×××

Senyum secerah matahari itu tak pernah luntur dari wajahnya sejak di menit pertama ia membuka mata, terbangun dari tidurnya. Gadis itu kali ini bangun lebih pagi dari hari biasa, dan ini adalah sebuah hal yang langka.

Secercah ingatan mengenai apa yang ia alami semalam, membuat senyumnya di bibirnya semakin merekah saja. Jika diberi kata kunci; Aliandra. Kalian sudah pasti tau jawabannya.

Sebuah hal yang tidak terduga memang, bagaimana bisa ia dengan mudahnya—oke sebenarnya tidak mudah juga sih, mampu merenggut hati laki-laki itu agar mau ber-chat dengannya. Dari kejadian semalam, di mana ia dan Kak Ali saling berbalas chat melalui aplikasi Line. Hal tersebut Prilly anggap sebagai bentuk respon positif dari Ali terhadap dirinya.

Ya, meski sebenarnya dalam obrolan mereka kala itu sedikit dibumbui kebohongan—mengenai rasa sukanya terhadap lelaki itu.

Tapi tidak apa lah. Untuk sekarang, sangat berarti bagi Prilly bisa berbicara dengan kakak kelasnya itu meski secara tidak langsung. Untuk urusan rasa, maksudnya, jujur tentang perasaan specialnya pada Kak Ali, itu biar menjadi urusan belakangan.

Lagipula, ia juga tak yakin. Apakah harus mengatakan yang sejujurnya pada orang itu, atau justru memilih tetap memendam segala rasa yang ia punya. Sesuatu dalam dirinya, ingin sekali berkata jujur. Tetapi di sisi lain dalam dirinya, Prilly juga merasa takut untuk mengatakan semuanya—perasaannya, pada Ali.

Entahlah, membuat Prilly pusing saja jika memikirkan hal rumit yang bahkan lebih rumit dari rumus Kimia yang dia pelajari di sekolah.

Hari ini Prilly memutuskan untuk menguncir rambut hitam panjangnya. Suatu hal yang jarang ia lakukan mengingat biasanya kalau berangkat sekolah ia sengaja menggerainya begitu saja—kadang Prilly terlalu malas untuk sekadar mengikatnya, omong-omong.

Setelahnya, Prilly kembali memperhatikan penampilannya. Dasi dan seragam sudah terpasang rapi di tubuh mungilnya, rambut sudah rapi dengan wajah yang hanya di polesi dengan bedak bayi serta sedikit sentuhan lipstick dengan warna natural di bibir ranum miliknya.

Sederhana, namun tetap terlihat imut.

Setelah merasa bahwa segalanya beres, gadis tersebut kemudian mengambil tas ranselnya dari bangku belajar kemudian keluar dari kamar bernuansa merah marun itu.

"Selamat pagi," Sapa Prilly dengan riang begitu sampai di meja makan dan di balas sapaan juga oleh kedua orang tuanya yang ternyata sudah berada di sana. Terlihat Bunda sedang mengoleskan selai kacang pada sehelai roti , lalu menumpuknya dengan sehelai roti lagi kemudian ditaruhnya di piring yang ada di hadapan putri tunggalnya itu. Sedangkan Papa sedang menikmati kopi hangatnya, seperti biasa.

Sarapan kali ini berjalan dengan hikmat, tak ada satu pun dari ketiga insan itu yang mengeluarkan satu kata pun. Tradisi tak berbicara saat makan memang Rizal—ayah, terapkan pada keluarga kecilnya.

Acara sarapan mereka pun selesai. Prilly baru saja selesai meneguk tetesan terakhir susu putih dari gelasnya ketika suara Ayah terdengar,

"Prill, siang ini Ayah ada job di Kalimantan Utara. Lebih tepatnya di Malinau. Jadi Ayah minta maaf karena bakal nggak bisa nganter dan jemput kamu."

Suara berat Ayah itu berhasil membuat Prilly mendongak menatap pria yang merupakan lelaki pertama yang ia cintai di dunia ini. Kemudian gadis tersebut hanya mengangguk, seakan paham akan hal itu.

"Ayah kamu kira-kira semingguan di sana. Jadi nanti biar Bunda aja yang ngurus soal antar jemput kamu. Kamu nggak keberatan kan, sayang?" Tanya Bunda dengan lembut. Seperti biasa.

Heart BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang