Chapter 8 - The Unluck'

546 48 6
                                    

(unedited, read for the risks ^^)

THE UNLUCK'

Part 1 (Chapter ini memang saya potong biar jadi pendek. Enjoy!)

Aku memarkir motorku di halaman sebuah rumah yang sederhana namun modern.

Sudah dua tahun lebih, tidak banyak perubahan yang terlihat pada rumah ini semenjak terakhir kali aku melihatnya. Rumah yang hanya berjarak satu setengah kilometer dari rumahku ini sudah seperti rumah keduaku. Aku masih bisa merasakan dengan jelas dalam ingatan bagaimana suasana ketika aku berkunjung dulu.

Dengan menggenggam tas plastik berisi kotak kue, aku mengetuk pintu rumah ini. kutunggu hingga beberapa menit namun tidak ada jawaban. Aku mengulangi ketukanku beberapa kali. "Permisi!" Masih juga tidak ada yang menjawab.

Ada tiga kemungkinan yang terlintas dalam pikiranku. Pertama penghuninya sedang tidak ada didalam, kedua penghuninya tidak mendengar ketukanku, dan yang ketiga ia memang sengaja tidak menjawab karena tahu siapa aku dan ingin membalas dendam setelah membuatnya lama menunggu tadi pagi. Oke, aku mulai tidak masuk akal.

Beberapa menit berdiri di depan pintu, aku mendengar suara seperti air mengalir dari sebelah kanan. Mungkin dari garasi samping rumah yang letaknya agak kebelakang, karena seingatku itu memang tempat untuk mencuci kendaraan. Mungkin penghuninya ada disana.

Aku berjalan ke arah garasi, dan benar saja. Ada seorang pria sedang mencuci sebuah motor besar, dengan celana selutut dan kaos tanpa lengan.

Sepertinya aku mengenal motor itu. Begitu aku melihat wajah pria yang mencucinya dan yakin siapa dia, aku pun langsung berbalik arah dan berharap dia tadi belum sempat melihatku. Aku akan berpura-pura tidak tahu dan meninggalkan bungkusan ini di depan pintu saja, lalu pergi secepatnya.

Aku tidak habis pikir, dari semua pria di bumi ini, kenapa harus cowok itu yang mengontrak rumah ini. Kenapa harus Ben. Sial sekali. Dan aku lupa kalau sebelumnya ia memang pernah bilang kalau ia tinggal di sebuah rumah kontrakan di dekat daerahku. Tapi aku tidak menyangka saja kalau itu adalah rumah ini.

Belum sempat motorku menyala, cowok tadi, yang tidak lain adalah Ben keluar dari garasi. Begitu melihatku ia pun melambaikan tangan dan tersenyum lebar, kemudian berjalan kearahku. Aku menggigit bibir bawahku. Sialan.

"Noura, kok kamu di sini?" Ben menatapku hangat. Terlalu hangat.

"Harusnya aku yang tanya. Kok kamu yang ada di sini?" tanyaku balik. Aku tidak berani menatap mata Ben karena gejolak aneh dalam diriku selalu muncul ketika aku menatap matanya. Gejolak itu tidak manusiawi dan selalu membuatku ketakutan setiap rasa itu kambuh.

Ben tertawa. "Well, aku tinggal disini, Nour. Kamu?" Sepertinya ia tidak pernah berkedip setiap menatapku.

"Rumah kontrakan ini punya tanteku." Kataku singkat. Gejolak ini rasanya semakin menjadi-jadi saja. Membuat lututku lemas. Ini tidak normal. Aku tidak bisa memahami rasa ini.

Tatapan Ben semakin intens, seolah ia mempelajari setiap lekuk wajahku. "Oh, jadi kamu keponakan Ibu Nova." Aku mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara.

Aku pun menambahkan, "tadi mama menyuruhku untuk mengantar kue itu." Aku menunjuk tas yang kuletakkan didepan pintu. "Sorry, aku pikir tadi tidak ada orang. Makasih ya buah-buahanya." Aku tersenyum pada Ben. Sebuah kesalahan.

Ketika mata kami bertemu, jantungku berdetak semakin kencang. Aku seperti melihat kilatan itu lagi, tapi aku tidak yakin itu sebenarnya apa. Kilatan aneh di mata Ben yang pernah kulihat disekolah. Aku sempat mengiranya sebagai pantulan dari lensa kontak, tapi ternyata bukan. Ini berbeda.

Sebuah rasa hangat menyelimuti tubuhku. Ada rasa nyaman yang aneh, seperti yang selalu kurasakan setiap berada di dekat Ben. Perasaan aman. Terlalu aman. Sampai aku justru merasa tidak nyaman, karena bagaimanapun juga, Ben adalah orang asing. Ini tidak normal.

Ben mengulurkan tanganya dan menyapu beberapa rambutku yang tergerai menutupi wajah ke belakang telinga. Aku agak terkejut pada diriku sendiri karena membiarkanya melakukan hal itu. Aku pun segera menarik diri dan menyalakan motorku.

"Ben aku harus cepet-cepet pulang. Duluan ya." Aku berpamitan singkat, sebelum disela tiba-tiba oleh Ben.

"Tunggu Nour," Ia menggenggam kopling-ku. Aku mendongak, menunggu kalimat selanjutnya. Menjawab dengan "ya?" pelan.

"Jangan berangkat dulu, ban kamu bocor." Aku terkejut mendengarnya.

"Ha? Nggak mungkin lah." Kupikir sejak tadi ban motorku ini baik-baik saja.

"Lihat sendiri itu, yang belakang." Benar saja, ban belakangku seperti sudah tidak berisi udara sama sekali.

"Kok bisa tiba-tiba kempes gini? Tadi berangkat masih normal kok." Aku mengerang. Ben hanya mengangkat bahu.

Tiba-tiba seperti ada setetes air yang jatuh mengenai pipiku. Aku mendongak, awan abu-abu diatasku sudah menebal. Mendung? Sebuah petir berkilat dan tetes-tetes air lainya mulai ikut berjatuhan. Sial, kenapa tiba-tiba gerimis? Tuhan tolong aku.

Aku menatap Ben yang sedang tersenyum lebar padaku.

*****************************************************************************

Hey thanks for reading. Chapter lanjutanya akan segera saya upload setelah saya lihat respon kalian. Vote, comment! ^^

The Curse [on hold]Where stories live. Discover now