Puzzle lima

83 1 0
                                    

Part 11

"Alhamdulillah, Fit. Aku surprise banget lihat kamu kayak gini" Wini memelukku saat aku berkunjung ke rumah barunya.

"Aku sempat mikir, gimana jadinya Fitra setelah kembali dari Amrik sana. Eh kok...." Dia tersenyum padaku "Malah tambah cantik"

"Thanks, Winne the pooh" wajahnya berubah kesal, kemudian kami malah tertawa berdua.

"Sori deh, bukan Winnie The Pooh lagi kan. Tapi Nyonya Adnan" Wajahnya memerah saat ku goda.

"Ih... udah dong Fit. Eh, cerita dong pengalaman kamu di sana" serunya bersemangat. Khas Wini.

"Aku kemari bukan mo diintrograsi lho, aku pengen liat rumah pengantin baru!" ucapku bernada protes.

"Iya deh, kamu boleh kok ngacak istana kecilku tapi sebagai gantinya kau harus cerita!" Wini menyeretku mengelilingi rumah mungilnya.

"Istana.????!! Yang ginian kamu bilang istana?" well kalo dibandingkan dengan Istananya, rumah mungil ini tidak ada apa-apanya.

"lni istanaku sekarang, Fit dan aku bahagia di tempat ini"

"Win.. Aku cuma bercanda. Aku juga ngerasa gitu kok" kupeluk bahunya lembut. Kami berdua tersenyum

"Inget nggak waktu kita masih kecil. Dulu kita pengen bangun sebuah istana dan kita akan jadi putri di dalamnya" Wini mengangguk.

"Padahal kita udah hidup di istana dan jadi putri, iya kan?" ganti aku yang mengangguk. Yap... sejak dulu kami memang telah tinggal di Istana megah, apapun yang kami inginkan tersedia, dilayani bak putri raja di dongeng-dongeng. Tapi hanya kulitnya saja. Didalamnya hampa, kering dan gersang. Malahan membuat kami mencari Istana baru

"Lalu kapan kau ingin membangun Istana barumu?" Wini melirikku

"What do you mean?" tanyaku bego

"Jauh jauh sekolah ke Amerika, bukannya tambah pinter, begonya masih sama! Apa perkataanku belum jelas?" Pembicaraan ini tidak menghentikan langkahku meniti tiap sudut Istana kecil Wini. Semua tertata apik, sederhana namun terlihat Indah. Dalam hati aku memuji Wini, dia bukan saja manis luar dalam tapi soal yang ini applaus buat dia.

"Hah!!!" aku menyeringai ketika otakku berhasil mencerna kata-katanya

"Oh itu... hmm aku belum kepikiran tuh. Ih Wini, udah dong! Aku udah gerah nih ditanyain soal itu. Papa aja ampe ngajuin calon setumpuk. Bosan!" aku kembali berjalan meninggalkan Wini, mengitari dapur mungilnya.

"Tapi aku denger nih udah ada yang ngelamar kamu" Wini menarik sebuah kursi dan menumpukan tangannya di atas meja. Kini dagunya bertumpu pada kedua tangannya. Menatapku penuh tanya.

"Itu sih calonnya papa, aku bukannya milih-milih, Win. Cuman calonnya papa itu......." aku menggantung kalimatku. Rekaman di kepalaku kembali berputar. Calon Papa yang pertama, tepatnya setahun yang lalu, setelah kelulusanku. Seorang eksekutif muda, intelek, tampan. Dengannya dunia terjamin. Well, itu kata orang. Papa memperkenalkanku dengannya pada suatu jamuan makan malam. Belum apa-apa dia sudah nyelutuk seenaknya

"Kamu cantik, tapi kayaknya lebih cantik deh kalau tanpa kain penutup kayak ginian!" Hah! Dia pikir dia siapa. Mines tak terhingga. Calon berikutnya sama saja, sama-sama memprotes penampilanku yang katanya kampungan, atau semua istilah lainnya yang dulu sempat juga kulontarkan pada wanita yang mengenakan busana takwanya. Aku jelas jelas menolak. Belum lagi pria-pria 'ramah' alias rajin menjamah. Go to hell aja deh Mas! Entah berapa lagi, aku tidak ingat. Aku sampai marah pada Papa, Oma bahkan Tame Mira. Kemarahanku itulah yang menghentikan misi mereka mencari jodoh untukku semuanya. Aku cuma tersenyum.

"Aku tolak semua. Gimana nggak nolak kalo calonnya itu tingkahnya malah lebih sadis dibandingkan tingkah usilnya keempat reptil itu. Emangnya aku pengin anakku punya ayah yang nggak benar!" tukasku. Wini hanya tersenyum menatapku.

"Jadi intinya masih nunggu yang tepat nih!" dia mengedipkan sebelah matanya padaku.

"Assalamu Alaikum!" salam itu menghentikan pembicaraan kami.

"Itu Mas Adnan sudah pulang, bentar yah Fit!" Wini bergegas menyambut suaminya. Kulirik jam tanganku 17.30. sudah sore. Mungkin aku patmit saja. Lagian takut mengganggu pengantin baru! Aku beranjak meninggalkan dapur itu tepat saat Wini berdiri di depanku.

"Win, aku pamit deh. Udah sore nih!"

"Makasih yah, udah mampir" Wina mengantarku dan begitu sampai di ruang tamu. Terlihat dua orang pria sedang asyik mengobrol

"Mas, Fitra mo pamit nih!" Aku cuma tersenyum sekilas dan hmm disana keduanya mendongak kearahku. Jadi tamunya Mas Adnan, dia... Miftah. Aku sedikit terkejut.

"Aku permisi dulu!" ucapku canggung, kedua pria itu hanya mengangguk "Assalamu Alaikum!" ucapku akhirnya.

Serentak keduanya membalas salamku. Wini mengantarku sampai ke tempat dimana Jazzku berteduh.

"Atau kamu udah nemu orang yang kau tunggu" Ucapan Wini kembali menyentakkanku. Aku berbalik dan tersenyum padanya.

"Keep this secret!" bisikku padanya. Wini mengangguk dan mengantar kepergianku dengan senyumnya. Langit berubah senja. Mentari sisa sejengkal ingin beranjak pergi. Semburat orange kini menggantikan biru tapi hanya sesaat, karena sebentar lagi langit akan berubah gelap. Kulajukan Jazzku di belantara senja, berharap sebelum gelap menerjang aku telah memarkirkannya kembali ke garasi. Kenapa dia selalu membuatku gelisah sejak pertemuanku malam itu? Untuk kemudian terhanyut dalan angan konyol nan tolol. Astagfirullahaladzim.....! desisku. Kuhembuskan nafasku perlahan. Ya Allah, kalau dia bukan takdirku, hilangkan rasa itu. Pintaku. Setelah shalat maghrib, hatiku sedikit lega. Kubaca beberapa ayatNya. Ini obat paling mujarab kala gelisah mengusikku. Alhamdulillah, aku berhasil mengendalikan galau hatiku yang tadi sempat menghanyutkanku.

^-^

Detik terus bergulir berganti menit, berakhir saat mentari terbenam dan memulainya lagi saat mentari terbit. Dunia masih berputar, memakan usia manusia-manusia yang ikut berotasi di dalamnya. Embun menitik diatas dedaunan, kupu-kupu mulai menari riang menyambut pagi. Dunia ini benar-benar diciptakan sempurna, angin meniup dedaunan. Hembusannya mempermainkan anak-anak rambutku. Aku menghirup udara pagi dalam-dalam. Bersyukur padaNya, hari ini aku masih diberi kehidupan.

"Non... sarapannya sudah siap. Bapak udah nungguin non di bawah" aku berbalik dan mendapati mbok Ipah sudah berdiri diambang pintu sambil tersenyum.

"Iya Mbok, bentar Fitrah turun" "Selamat pagi, Nona!" Papa tersenyum menyambutku. Aku menghampirinya dan mengecup pipinya. Dia orang yang paling sabar di dunia ini, menghadapi kebadunganku, menghadapi hidupnya yang ditinggal pergi orang yang melahirkan aku. Aku dendam, benci pada wanita itu, tapi Papa? Entah sudah berapa kali dia memintaku menemuinya. Kutarik sebuah kursi disamping Papa, memindahkan setangkup roti ke piring di hadapanku. Memotongnya kecil-kecil dan menyuapkannya ke mulutku

"Mamamu ingin bertemu denganmu, dia mengundang kita makan malam di rumahnya malam ini. Malam nanti kamu nggak ada acara kan?" ucapan papa refleks menghentikan acara sarapanku.

"Kau sudah sebulan kembali kemari, dia merindukanmu, Fit!" lanjutnya lagi. Aku mendesah panjang. Oh jadi dia rindu juga padaku? Lalu mengapa meninggalkanku. Kembali kulahap sisa rotiku.

"Fitra? Kau dengar papa kan?"

"Iya, denger kok. " ucapku setengah kesal. "lagian ngapain sih ngajak makan malam segala. Fitra malas ah Pa!"

"Fit... demi Papa!" ini kata ampuhnya melumpuhkanku. Apa sih yang tidak kulakukan untuknya. Aku terlalu banyak merepotkannya. Akhirnya dengan pasrah aku mengangguk. "Yah, sudah. Sampai nanti malam. Papa berangkat dulu. Kau juga jangan telat ke kantor!" Papa bangkit dan mengacak rambutku lembut.

"Assalamu alaikum!" dan dia pun berlalu

"Waalaikum salam!" semoga malam ini bisa terlewati. Terus terang aku sudah berusaha berdamai dengan hatiku, mencoba memaafkan apa yang telah dia perbuat pada kami berdua. Tapi... saat ini, sepertinya aku belum siap menemuinya.

Perjalanan dua hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang