Labirin tiga

116 3 0
                                    

Part 3

Labirin tiga

" Fit, gimana?"

"Payah ah, Hmm... 5 deh!

"Aku...hmm dua!"

"Murah banget! Kau, gimana Ko!"

"Hmm... Roknya mesti naik sepuluh centi baru aku berani ngasih dia 6!" "Arah jam 12!" Suit...suit... suitan panjang diiringi tawa renyah bergulir di sela permainan mereka.

Aku hanya menggeleng, sesekali melemparkan pandangan pada objek mereka, Astagfirullah.... Apa jadinya generasi mendatang kalau wanita saat ini seperti gadis itu, berpakaian seadanya persis orang yang habis dianiaya anjing. Compang-camping tidak karuan.

Fitra masih asyik tertawa, diantara sahabat-sahabatnya. Pangeran tampan dari negeri antah-berantah, Eko, Yadi, Prima dan Andy. Keempatnya plus Fitra sedang asyik "menilai" gadis-gadis produksi modern.

"Yad, liat arah jam satu. Taruhan... berapa menit nih!" seru Prima menantang

"Lima deh!" Yadi bangkit dari singgasananya, kepergiannya diiringi tatapan empat pasang mata yang tertawa cekikikan.

"Pasti lebih dari lima menit, trus ujung-ujungnnya dia pasti dicuekin!"

Andy menyeringai. Seringai khas penggoda. Maklumlah pas dia ngomong ada satu lagi yang berlenggok depan di depannya.

"Gimana kalo dia sukses ngajak tuh cewek!" Prima akhirnya bersuara

"Eh...entar! Liat deh, kayaknya hipotesamu salah Ndy!" ucap Fitra sambil mengalihkan pandangannya ke tempat Yadi.

"Sial juga tuh anak, pake pelet jenis apalagi. Mati deh aku...!" Prima menepuk dahinya terlihat cemas, yang dicemaskannya tentu saja uang yang harus terkuras dari dompetnya akibat permaianan konyol itu.

"Fit... kesana deh, jewer dia kek. Bilang kalo kau pacarnya!" Eko menarik lengan Fitra, mencoba menggoyahkan gadis itu dari kedudukannya

"Eits.... Aku cuma wasit di taruhan ini, nggak boleh berpihak dong!" Fitra cengar-cengir. Entah mengapa aku yang marah melihat dia disana. Kembali siulan panjang terdengar lalu HUEKKKK! Keempatnya kompak, lalu tawa kembali pecah

"Ini kan tempat belajar, bukan diskotik, lagian pagi gini...." Suara Fitra terdengar kembali setelah tawanya reda.

"Yah, Fit.. kalo cewek dandannya kayak kau, rugi dong kita ke kampus. Cuman nyaksiin makhluk nggak jelas sepertimu!" ujar Andy kemudian

"Ndy, nih monyet kan bukan cewek!!" seru Prima mengingatkan

"Emang!!! Aku bukan cewek bego kayak mangsa kalian yang gampang banget di kibulin!" Fitra membela diri

"Fit, kau itu normal nggak sih?" Eko kini memandang Fitra.

Aku juga ingin tertawa mendengar celotehan Eko. PLAK...BUG...BUG!! Fitra menghadiahi Eko pukulan tumpukan buku di kepalanya. Semoga saja pukulan itu bisa menggembalikan sekrup otaknya yang hilang.

"Kalian berdua juga, kenapa ketawain aku!" protesnya sengit. Gantian Prima dan Andy yang siap diberi hadiah.

"Iya.. aku normal. Tapi versi ku sendiri. Nggak perlu legalitas dari kalian!" serunya lagi

"Hi guys... look it!" Yadi kembali sambil memamerkan handphonennya. "Namanya!" Andy meraih Hp mungil itu, jari-jarinya sibuk memencet tutsnya. "Metha!" Ujar Yadi semangat

"Nggak nyambung Yad!" Hp itu beralih kembali ke tangan Yadi. "Masa iya sih!" dicobanya lagi.

"Sialan nih cewek, aku dikibulin!" "Ha..ha..ha, akhirnya uangku nggak jadi raib!" Prima berteriak keras "Ada juga yang bisa kadalin reptil macam kamu yah, Yad!" Fitra geleng-geleng kepala.

"Reptil? Aku bukan reptil!" bentaknya kesal. "Fit, jangan panggil kita reptil dong. Ngurangin pasaran, tahu nggak sih!" Andy ikut bersuara "Yeah.. apa yang salah. kau emang reptil kan, ular!" Jarinya pada Eko, "Kadal!" pindah pada Yadi, "Bunglon!" pada Prima dan terakhir pada Andy "Buaya!!! Ha...Ha..ha..!" tawanya pecah, tapi diwajah keempat pangerannya berubah merah.

Terang saja, suara Fitra cukup keras untuk didengarkan semua makhluk radius seratus meter dari tempatnya. Ada juga yang ikut tertawa, wajah mereka berempat makin merah

"Dan kau pawang reptil! Mahkluk purba, spesies nggak jelas!" Andy mengacak rambutnya, Fitra menepisnya kasar, merapikan kembali rambutnya dengan jari-jarinya.

"Pawang reptil? Nggak!!!! Kau itu komodo yang harus di deportasi ke pulau komodo!" ganti Yadi mencubit pipinya. Dia meringis, dan aku yang kesal.

"Komodo nggak normal!" Prima menimpali.

"Aku normal....reptil jelek!!!!" bogemnya terlempar tidak karuan, derap langkah mereka mendekatiku, saling berkejaran dan masih saling mengumpat. Ugh...kenapa dia mengganggu atmosfer hidupku.

"Mif, nggak masuk?" Zaenal baru saja tiba.

"Baru mo masuk kok!" kusandangkan ranselku di bahu kanan.

"Dosennya belum datang yah!" dijajarinya langkahku

"Kalo udah datang, aku sudah di dalam!" seruku, kami berdua tertawa.

^-^

"Siang mas ikhwan!"

"Ups...salah. Assalamu Alaikum!" dia mendekatiku, aku masih sibuk memasukkan buku-bukuku ke dalam ransel.

"Waalaikum Salam Wr.Wb!" aku menyandangkan ranselku.

"Mana utangmu!" dia mencegatku, berdiri tepat di depanku.

"Atau kau butuh alasan ku! OK pertama nyontek itu praktis!" satu jarinya tepat didepan wajahku "Kedua, efisien. Ketiga, tidak makan waktu alias penghematan, nggak bikin capek, mudah, menantang, menyenangkan, nggak ngedate ama diktat tebal, udah termasuk usaha, dan yang paling penting dosen nggak pusing jawaban itu mo nyontek ato bukan. Intinya, amat sangat praktis!" kini sepuluh jarinya telah tegak semua di hadapanku

"OK, aku juga masih punya lima lagi, nyontek atau memberikan nyontekan pada seseorang akan merusak kreativitas, dia jadi nggak mau berusaha, enaknya sendiri, hilang kepercayaan diri dan merusak diri sendiri! Cukupkan!" dia mengacak rambut cepaknya, keningnya sedikit berkerut.

"Thanks untuk alasannya!" diapun kembali ke dunianya.

^-^

Ada yang berdesir saat aku tanpa sengaja menatapnya. Cepat-cepat kualihkan pandanganku, tapi walaupun begitu tanpa kusadari aku mulai merasa ada yang aneh denganku. Mungkin aku kagum padanya, pada dunianya yang berbeda, pada sikap kritisnya, pada tiap tulisannya. Kadang aku ingin menganggapnya sebagai seorang adik yang ingin kujaga. Apa iya, aku menganggapnya adik? Pertanyaan itu mendentum di hatiku. Mengapa aku merasa marah, jika reptil-reptil itu bebas bercanda dengannya.

"Akhir-akhir ini kau sering melamun!" tepukan lembut dipundakku kembalikan aku dari labirin panjangku.

"Eh, Bang Adnan!" aku menjabat erat tangannya

"Sedang mikirin apa?"

"Tidak, tidak memikirkan apa-apa!" elakku. Dia seniorku, aku belajar banyak darinya. Dia jugalah yang mengarahkanku ke sudut terang. Tentang indahnya Islam, tentang pergaulan dan banyak lagi

"Apa salah kalau kita memperhatikan seseorang....hmm, maksudku!" dengan ragu, kuutarakan keresahanku

"Tidak ada yang salah, bukankah itu fitrah. Hanya saja kau perlu mempergunakan imanmu untuk me-manage perasaan itu. Orang-orang banyak yang terjebak di'perasaan' itu karena meraka tidak membingkainya dengan iman. Tidak bisa mengarahkannya ke hal yang positif!" aku mengangguk mendengar Bang Adnan

"Kau lihat sendiri kan akibatnya jika perasaan seperti itu dibingkai nafsu!" dia kembali menatapku

"Kalau kau sudah siap, mengapa tak langsung melamarnya!" Aku meringis, menggeleng. Ini terlalu cepat, aku juga belum yakin pada perasaanku. Aku belum yakin, dia takdirku dan lagi pula gadis itu mana ada hati padaku. Gadis seperti dia tidak tepat bagiku. Lagipula apa yang kupunya untuknya. Dia.... dari materi dia amat mapan, anak seorang pengusaha terkenal di kota ini. Banyak yang meliriknya, mencoba mendekatinya. Aku bukan apa-apa. Hanya seseorang yang merasa melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang mengusikku, mungkin karena itu saja makanya dia selalu singgah di pikiranku.

Perjalanan dua hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang