SEDEKAPAN ASAGAO Duniamimpigie

121 16 3
                                    

SEDEKAPAN ASAGAO Duniamimpigie

"Camkan baik-baik, keugaharian itu estetika. Cukuplah kamar sempit, tak perlu lagi puri megah berbenteng beton. Tak butuh cawan berukir dan berlukis rumit, teguklah dari cawan kecil nan polos. Untuk apa memakan satu-dua piring nasi jika kepuasan telah diperoleh sejak suapan pertama? Hiduplah dengan kesederhanaan. Ugahari ialah estetika sejati. Camkan itu, Asa-kun."

Kendati demikian, tangisan nan menderai ini tak kunjung reda. Bahkan setelah aku menginjak usia dua puluh, enam tahun lebih semenjak terpisahkan darimu. Saat jiwaku lenyap tak bersisa.

Ternyata aku memang merindu.

Ternyata aku memang mencintamu.

==oOo==

Pagi itu, kala aku bersama nyonya tengah menyapu pekarangan belakang, tak ubahnya pagi-pagi sebelumnya. Menyingkirkan sisa-sisa kelopak kembang ume yang gugur karena usia, bakal tergantikan buahnya yang kehijauan ranum.

Pagi itu, kala Kota Hamatsu akhirnya memperoleh masa-masa damainya yang singkat. Pagi itu, kala pinggiran ibu kota disapu angin musim semi nan hangat, teriring cericip burung uguisu menggelitik telinga.

Tenang.

Damai.

Hidup.

Pelan kuhirup udara, sepenuh hati, menikmati sensasinya terserap ke tubuhku, ke hatiku, hingga membawa senyum ke wajahku. Sekali lagi aku mensyukuri hidup, berterima kasih.

Ya, pagi itu aku hidup. Sungguh. Kumiliki kehidupan sempurna, yang dulu hanya angan belaka.

Ah, Kiyo no Fusa. Sensei. Penyelamat jiwaku, keluargaku, panutanku, guruku.

Dewaku.

Yang kujunjung tinggi melebihi―bahkan―dewa-dewi itu sendiri, kaisar itu sendiri, yang tak pernah kutemui maupun kukenal.

Bunyi keteplak-ketepluk tapal kuda terdengar dari arah depan, menembus rerimbunan pepohonan dan bebungaan kesayangan beliau beserta istrinya. Awal hanya samar, jauh, semakin mendekat dan mendekat, bunyi itu.

"Permisi!"

Sang nyonya rumah mendengarkan, tamu rupanya.

"Kami utusan sang shogun! Mengantar surat untuk sang ahli teh, Kiyo no Fusa!" Suara tegas dengan kata-kata yang jelas.

Yang kontan mengejutkan seisi rumah. Ricuh di pagi hari.

"Ah, aku harus segera memanggil suamiku! Asa, tolong kausambut utusan itu, ya?" panik wanita santun itu, istri idolaku itu, hingga lenyap di balik pintu tanpa memberitahuku langkah-langkah tepat menyapa utusan shogun.

Bocah perempuan kumal sepertiku bisa apa?

Kuhadapi para utusan itu setelah beberapa jenak menepuk-nepuk kimono usangku, berupaya sedikit lebih sedap dipandang. Tak kuingat lagi mulutku bicara apa kepada mereka, gugup serta terbata-bata, bingung.

Hanya tepukan lembut nan hangat di puncak kepala―begitu tiba-tiba―yang masih tersisa sebagai kenangan, dari sensei.

"Asa-kun, kembalilah ke dalam. Terima kasih sudah menemani mereka," senyumnya, hangat dan menenangkan. Menghapus segala kegundahan sebelumnya.

Kugeleng-gelengkan kepala. Tidak apa, itu bukan apa-apa, batinku, namun hanya kutunjukkan senyum kecil padanya.

Rupa-rupanya surat itu berisi keinginan sang shogun untuk minum teh sembari menikmati deretan asagao di sisi-sisi jalan setapak menuju ruang minum teh rumah kami.

Pemandangan asagao sepanjang jalan setapak itu sungguhlah memikat hati. Pasti tak ada seorang pun yang tidak berhenti di tengah rerimbunan nila, ungu, merah muda dan biru langit sambil berdecak kagum, seolah hendak mematri segalanya dengan mata dan ingatan manusia yang tidak kekal.

EVERNA SAGA lintas.masaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang