KEMBALI DI DESAKU Anjar Adityatsu

379 32 2
                                    

KEMBALI DI DESAKU Anjar Adityatsu

Tak terasa, telah lebih tiga tahun berlalu sejak terjadinya bencana itu. Bencana yang memaksaku meninggalkan Gandarwangi, desa tempat rumahku berada.

Kini, setelah merantau dan menuntut Ilmu Kanuragan dari guruku yang sakti mandraguna, kembali aku mengetuk pintu rumahku. Suara canda-tawa anak-anakku yang sedang bermain-ria di dalam sana bagaikan dentingan lagu merdu yang telah lama merindu kalbu.

Lebih cantik lagi sosok istriku, Nyi Lasmi, yang menyambutku dengan pelukan mesra dan sapaan merdu, “Kanda Dirga, kau pulang! Oh, puji syukur bagi Sang Mahesa!”

Anak-anakkupun ikut menghambur, mendekap diriku tanpa peduli bau matahari pekat dari tubuh si perantau dari jauh ini. “Haha, Jaka, Utari, kalian sudah besar-besar, ya! Semuanya baik-baik saja, ‘kan? Eyang mana?”

Tiba-tiba air muka Lasmi berubah muram. “A-ayahmu… berpulang setahun setelah kau diusir. Beliau bekerja terlalu keras memperbaiki kerusakan sawah dan peternakan kita hingga jatuh sakit. Bahkan tabib desapun tak kuasa menolongnya.”

Ledakan emosi membuat tinjuku menggebrak meja yang baru saja kuhampiri. “Agh! Si Demang Madar itu! Sudah kubilang ayahku sudah tua dan ringkih! Teganya dia mengusirku, padahal dia tahu aku telah banyak berjasa menyelamatkan desa!”

“Tenang, kakang. Ingat, waktu itu kau telah membunuh kepala gerombolan perampok sehingga semua anak buahnya lari kocar-kacir. Cepat atau lambat, sisa gerombolan itu pasti akan mengincar desa ini lagi, mencarimu untuk balas dendam.”

“Tapi kalau aku pergi, siapa lagi yang melindungi desa ini? Tentara Jayandra? Pendekar-pendekar yang kebetulan melintas? Apa ada jaminan mereka takkan lari bila musuh menyerang? Apa semua murid yang belajar beladiri dariku setengah hati sanggup membela desa sendiri?”

“Ya, mungkin saja. Setidaknya…”

Aku menggeleng. “Tidak, Lasmi. Itu tidak cukup. Di zaman ‘yang kuat menelan yang lemah’ ini, setiap kita harus berusaha menjadi kuat agar bisa membela diri sendiri serta melindungi mereka yang lemah.”

“Aku ingin jadi kuat juga, seperti ayah!” seru Jaka sambil menunjukkan lengannya yang tak bertonjolan otot, wajar saja untuk anak berusia sepuluh tahun sepertinya.

Utari menyela adiknya, “Hush! Jangan ikut-ikut omongan orang dewasa!”

“Tak apa-apa, Tari,” hibur sang ibu. “Sekali-kali saja. Mungkin kamu mau jadi kuat juga?”

Gadis kecil itu menggeleng cepat. “Tari mau jadi penari saja, seperti yang di keraton!” Ia memperagakan gerakan tari yang asal-asalan, tapi cukup manjur untuk mengubah wajah tegangku jadi tersenyum geli.

Segera kupeluk lagi kedua anakku itu. “Ya, tak apa kok. Yang penting sekarang ayah kembali untuk menjadikan semua petani dan warga desa di sini orang-orang kuat. Tak seperti kepala desa kita yang tahunya hanya menghitung dan membelanjakan uang saja.”

“Dirga, nanti anak-anak kelepasan bicara…” sela Lasmi.

Namun aku menyahut, “Biar! Biar si Madar dengar dan mulai menggerakkan badannya yang tambun itu. Sementara itu, ayah ingin mandi dan istirahat dulu malam ini, ya.”

Bahkan wanita sederhana seperti Lasmipun tahu, mendebat pria yang kelelahan luar biasa takkan membuahkan hasil yang diinginkan.

==oOo==

Keesokan paginya, hal pertama yang kulakukan adalah meninjau sawah dan ternakku.

Tampak si kerbau tengah bercengkerama dengan sapi-sapi di kandang, ditingkahi kokok dan kotek ayam-ayam yang berkeliaran, juga embikan kambing-kambing. Semua suara itu terangkai dalam simfoni kehidupan yang merdu. Bahkan anjing peliharaanku tampaknya kini memiliki keluarga yang harmonis – sejauh tak ada yang salah paham saat mereka saling menggigit telinga, bergulat dan semacamnya.

EVERNA SAGA lintas.masaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang